Tuesday, October 23, 2018

1355. NASIKH MANSUKH


NASIKH DAN MANSUKH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “nasikh dan mansukh?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
1.    Kata “naskh” dipakai dalam beberapa arti, yaitu: pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sejenisnya.
2.    Nasikh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan semacamnya.
3.    Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamakan “Mansukh”.
4.    Sebagian ulama beranggapan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan dalam suatu kondisi tertentu, telah menjadi “mansukh” (dihapus/dibatalkan) apabila ada ketentuan lain yang berlainan karena adanya perbedaan kondisi.
5.    Misalnya, perintah untuk “bersabar” atau “menahan diri” pada periode Mekah pada saat kondisi umat Islam masih lemah, dianggap telah “dinasikhkan” (dihapuskan/dibatalkan) oleh “perintah/izin berperang” pada periode Madinah ketika umat Islam sudah kuat.
6.    Para ulama yang mendukung adanya “nasikh dan mansukh” menyatakan, “Hukum diundangkan untuk kemaslahatan manusia, sehingga hukum dapat berubah/berbeda akibat perbedaan waktu/tempat.”
7.    Ulama pendukung adanya “nasikh dan mansukh” menyebutkan dalam Al-Quran surah An-Nahl (surah ke-16) ayat 101.

وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
      Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata,”Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
8.    Para ulama pendukung adanya “nasikh dan mansukh” mengakui bahwa nasikh dan mansukh dapat dilakukan apabila terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, tetapi harus diketahui secara meyakinkan urutan kronologis turunnya ayat tersebut, sehingga ayat yang turun lebih dahulu ditetapkan sebagai “mansukh” atau “yang diganti”, sedangkan ayat yang turun kemudian sebagai “nasikh” atau “yang mengganti”.
9.    Artinya semua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada pertentangan atau kontradiksi, yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda.
10. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat pada zaman tertentu, tetap dapat berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
11. Pemahaman semacam ini sangat membantu penyebaran dakwah Islam, sehingga ayat hukum yang bertahap dapat dijalankan oleh umat Islam yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada zaman awal dahulu.
12. Apabila ada nasikh dan mansukh dalam ayat Al-Quran, maka siapakah orang yang berwenang melakukan nasikh dan mansukh ayat Al-Quran?
13. Para ulama berbeda pendapat tentang, “Apakah Nabi Muhammad boleh melakukan nasikh dan mansukh ayat Al-Quran?”
14. Para ulama yang membolehkan Nabi Muhammad melakukan nasikh dan mansukh terhadap ayat Al-Quran secara teoretis, ternyata berbeda paham tentang, “Apakah dalam kenyataan secara faktual terdapat hadis Nabi yang mengisyaratkan adanya nasikh dan mansukh  terhadap ayat  Al-Quran?”
15. Sebagian ulama menolak adanya hadis yang membolehkan adanya nasikh dan mansukh, meskipun secara teoretis, terhadap ayat-ayat Al-Quran.
16. Sebagian ulama yang lain memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya nasikh dan mansukh terhadap ayat-ayat Al-Quran.
17. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang adanya hadis yang membolehkan nasikh dan mansukh terhadap ayat-ayat Al-Quran, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa semua ulama bersepakat menyatakan bahwa yang dapat melakukan nasikh dan mansukh terhadap ayat Al-Quran hanya wahyu Allah yang bersifat mutawatir.
18. Mutawatir adalah sifat hadis yang memilki banyak sanad dan diriwayatkan oleh banyak perawi pada tingkat sanadnya, sehingga banyak perawi itu mustahil bersepakat untuk berdusta atau memalsukan hadis.  
19. Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan pendapat  oleh para ulama, “jika suatu hukum telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula”.
20. Sungguh sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.
21. Atas dasar hal tersebut, masalahnya beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis.
22. Apakah terdapat hadis Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat Al-Quran?
23. Para ulama menampilkan empat hadis yang semuanya bersifat “ahad’ atau tidak mutawatir, tetapi dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh-kan ayat Al-Quran.
24. Kesimpulannya, bahwa tidak ditemukan hadis Nabi yang mutawatir yang me-naskh-kan ayat-ayat Al-Quran.
25. Hadis “La washiyyata li warits” (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sebagian ulama dinyatakan sebagai me-naskh-kan ayat “kewajiban berwasiat” dalam surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 180,  ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan”.
26. Kata-kata “Sesungguhnya Allah telah memberikan…” dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris.
27. Hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh-kan adalah ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi yang bersifat ahad tersebut.
28. Apabila yang dimaksud dengan naskh adalah “pergantian” seperti yang ditampilkan di atas, maka diperlukan keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi.
29. Pilihan yang diambil berdasarkan kondisi sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang.
30. Misalnya, terdapat tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras, ketiganya tidak batal, tetapi berubah sesuai dengan perubahan kondisi.
31. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
32. Dengan memperhatikan bentuk plural pada surah An-Nahl (surah ke-16) ayat 101 tersebut, “Apabila Kami mengganti suatu ayat ...”.
33. Kata “Kami” secara umum adalah sebagai pengganti nama Allah, tetapi juga menunjukkan adanya keterlibatan selain Allah, yaitu manusia dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat.
34. Hal ini berarti memerlukan keterlibatan manusia, yaitu  para ahli untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan oleh ayat Al-Quran yang mansukh (yang diganti).  
34.
Daftar Pustaka
1.    Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2.    Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3.    Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4.    Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2,
5.    Tafsirq.com online.      



Related Posts:

  • 452. KADAR 1MEMAHAMI MALAM “LAILATUL QADAR” (Seri ke-1) Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.        Beberapa orang ber… Read More
  • 452. KADAR 1MEMAHAMI MALAM “LAILATUL QADAR” (Seri ke-1) Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.        Beberapa orang ber… Read More
  • 452. KADAR 1MEMAHAMI MALAM “LAILATUL QADAR” (Seri ke-1) Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.        Beberapa orang ber… Read More
  • 452. KADAR 1MEMAHAMI MALAM “LAILATUL QADAR” (Seri ke-1) Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.        Beberapa orang ber… Read More
  • 452. KADAR 1MEMAHAMI MALAM “LAILATUL QADAR” (Seri ke-1) Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.        Beberapa orang ber… Read More

0 comments:

Post a Comment