NASIKH DAN MANSUKH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “nasikh dan mansukh?”
Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
1. Kata “naskh” dipakai dalam beberapa arti,
yaitu: pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain,
pengubahan, dan sejenisnya.
2. Nasikh adalah sesuatu yang membatalkan,
menghapus, memindahkan, dan semacamnya.
3. Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus,
dipindahkan, dan sebagainya, dinamakan “Mansukh”.
4. Sebagian ulama beranggapan bahwa suatu
ketentuan hukum yang ditetapkan dalam suatu kondisi tertentu, telah menjadi
“mansukh” (dihapus/dibatalkan) apabila ada ketentuan lain yang berlainan karena
adanya perbedaan kondisi.
5. Misalnya, perintah untuk “bersabar” atau
“menahan diri” pada periode Mekah pada saat kondisi umat Islam masih lemah,
dianggap telah “dinasikhkan” (dihapuskan/dibatalkan) oleh “perintah/izin
berperang” pada periode Madinah ketika umat Islam sudah kuat.
6. Para ulama yang mendukung adanya “nasikh
dan mansukh” menyatakan, “Hukum diundangkan untuk kemaslahatan manusia, sehingga
hukum dapat berubah/berbeda akibat perbedaan waktu/tempat.”
7. Ulama pendukung adanya “nasikh dan
mansukh” menyebutkan dalam Al-Quran surah An-Nahl (surah ke-16) ayat 101.
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا
إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di
tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkan-Nya, mereka berkata,”Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
8. Para ulama pendukung adanya “nasikh dan
mansukh” mengakui bahwa nasikh dan mansukh dapat dilakukan apabila terdapat dua
ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, tetapi
harus diketahui secara meyakinkan urutan kronologis turunnya ayat tersebut,
sehingga ayat yang turun lebih dahulu ditetapkan sebagai “mansukh” atau “yang
diganti”, sedangkan ayat yang turun kemudian sebagai “nasikh” atau “yang
mengganti”.
9. Artinya semua ayat Al-Quran tetap
berlaku, tidak ada pertentangan atau kontradiksi, yang ada hanya pergantian
hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda.
10. Dengan demikian ayat hukum yang tidak
berlaku lagi bagi masyarakat pada zaman tertentu, tetap dapat berlaku bagi
masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
11. Pemahaman semacam ini sangat membantu
penyebaran dakwah Islam, sehingga ayat hukum yang bertahap dapat dijalankan
oleh umat Islam yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada
zaman awal dahulu.
12. Apabila ada nasikh dan mansukh dalam ayat
Al-Quran, maka siapakah orang yang berwenang melakukan nasikh dan mansukh ayat
Al-Quran?
13. Para ulama berbeda pendapat tentang,
“Apakah Nabi Muhammad boleh melakukan nasikh dan mansukh ayat Al-Quran?”
14. Para ulama yang membolehkan Nabi Muhammad
melakukan nasikh dan mansukh terhadap ayat Al-Quran secara teoretis, ternyata berbeda
paham tentang, “Apakah dalam kenyataan secara faktual terdapat hadis Nabi yang mengisyaratkan
adanya nasikh dan mansukh terhadap ayat Al-Quran?”
15. Sebagian ulama menolak adanya hadis yang membolehkan
adanya nasikh dan mansukh, meskipun secara teoretis, terhadap ayat-ayat Al-Quran.
16. Sebagian ulama yang lain memandang bahwa
tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya nasikh dan mansukh terhadap
ayat-ayat Al-Quran.
17. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang
adanya hadis yang membolehkan nasikh dan mansukh terhadap ayat-ayat Al-Quran,
tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa semua ulama bersepakat menyatakan
bahwa yang dapat melakukan nasikh dan mansukh terhadap ayat Al-Quran hanya
wahyu Allah yang bersifat mutawatir.
18. Mutawatir adalah sifat hadis yang memilki
banyak sanad dan diriwayatkan oleh banyak perawi pada tingkat sanadnya,
sehingga banyak perawi itu mustahil bersepakat untuk berdusta atau memalsukan
hadis.
19. Syarat bahwa wahyu tersebut harus
bersifat mutawatir, disebabkan pendapat oleh para ulama, “jika suatu hukum telah
terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin
me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula”.
20. Sungguh sangat riskan untuk membatalkan
sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.
21. Atas dasar hal tersebut, masalahnya
beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis.
22. Apakah terdapat hadis Nabi yang mutawatir
yang telah membatalkan ayat Al-Quran?
23. Para ulama menampilkan empat hadis yang semuanya
bersifat “ahad’ atau tidak mutawatir, tetapi dinilai oleh sebagian ulama telah
me-naskh-kan ayat Al-Quran.
24. Kesimpulannya, bahwa tidak ditemukan hadis
Nabi yang mutawatir yang me-naskh-kan ayat-ayat Al-Quran.
25. Hadis “La washiyyata li warits” (tidak
dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sebagian ulama
dinyatakan sebagai me-naskh-kan ayat “kewajiban berwasiat” dalam surah
Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 180, ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya
berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak
haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima
warisan”.
26. Kata-kata “Sesungguhnya Allah telah
memberikan…” dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris.
27. Hadis tersebut menyatakan bahwa yang
me-naskh-kan adalah ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi yang bersifat ahad
tersebut.
28. Apabila yang dimaksud dengan naskh adalah
“pergantian” seperti yang ditampilkan di atas, maka diperlukan keterlibatan
para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum
yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi.
29. Pilihan yang diambil berdasarkan kondisi sosial
atau kenyataan objektif dari masing-masing orang.
30. Misalnya, terdapat tiga ayat hukum yang
berbeda menyangkut khamr (minuman keras, ketiganya tidak batal, tetapi berubah
sesuai dengan perubahan kondisi.
31. Para ahli dapat memilih salah satu di
antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
32. Dengan memperhatikan bentuk plural pada surah
An-Nahl (surah ke-16) ayat 101 tersebut, “Apabila Kami mengganti suatu ayat
...”.
33. Kata “Kami” secara umum adalah sebagai pengganti
nama Allah, tetapi juga menunjukkan adanya keterlibatan selain Allah, yaitu manusia
dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat.
34. Hal ini berarti memerlukan keterlibatan
manusia, yaitu para ahli untuk
menetapkan alternatifnya dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan oleh ayat
Al-Quran yang mansukh (yang diganti).
34.
Daftar Pustaka
1.
Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan
Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2.
Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran.
Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3.
Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital
Qur’an Ver 3.2,
5. Tafsirq.com online.
0 comments:
Post a Comment