Thursday, July 14, 2022

13977. SYARAT MAJU DANA RISET TINGGI DAN PROFESOR RAJIN

 

 


 

INDONESIA MAJU JIKA DANA RISET TINGGI DAN PROFESOR RAJIN

Oleh : Drs HM Yusron Hadi, MM

 

 

 

Indonesia bangga sebagai penyelenggara KTT G-20.

 

Ada renungan seorang profesor ITB.

 

"Perguruan tinggi kita belum di level G-20.

 

Kita yang terbaik.

Sama dengan perguruan tinggi terbaik.

Di Ghana, Afrika," tulisnya.

 

Prof Dr Mikrajudin Abdullah.

Panggilannya Mikra.

 

Guru besar MIPA Institut Teknologi Bandung.

 

S-3 Hiroshima University, Jepang.

 Disertasinya tentang nano komposit.

 

Dia doktor kimia.

Tapi untuk tingkat itu.

Sudah nyaris menyatu dengan ilmu bahan.

 

"Dengan memakai indikator:

 

1.        Reputasi perguruan tinggi.

2.        Jumlah pemenang hadiah Nobel.

3.        Jumlah ilmuwan internasional.

 

Reputasi akademik Indonesia.

Di posisi terakhir.

 

Di antara anggota G20 lainnya," tulis Prof Mikra.

 

"Berdasarkan Times Higher Education 2022.

 

Ada 3 perguruan tinggi terbaik Indonesia.

Hanya menempati posisi seribuan, yaitu:

1.        UI (801-1000).

2.        ITB (1001-1200).

3.        UGM (1201+).

 

Posisi ini jauh di bawah universitas terbaik.

Di negara berkembang anggota G20," tambahnya.

 

Misalnya:

1.University of Cape Town, Afrika Selatan (183).

2.University of Buenos Aires, Argentina (176-200).

 

3.King Abdulaziz University, Saudi Arabia (190).

4.University of Sao Paulo, Brazil (201-250).

 

5.Indian Institute of Science, India (301-350).

6.Cankaya University, Turki (401-500).

 

7.Monterrey Institute of Technology, Mexico (601-800).

 

"Bahkan peringkat universitas terbaik Indonesia.

Masih jauh di bawah universitas di Afrika.

 

Misalnya:

1.Addis Ababa University, Ethiopia (401-500).

2.University of Nairobi, Kenya (501-600).

 

3.University of Lagos, Nigeria (501-600).

4.Makerere University, Uganda (601-800)," tulisnya.

 

"Universitas terbaik di Indonesia.

Hanya setara dengan:

University of Ghana, Ghana (1001-1200).

Dan University of Botswana," tambahnya.

 

 

Banyak yang mendukung pendapat itu.

Tentu ada juga yang tidak setuju.

Terutama ukurannya itu.

 

Prof Mikra lahir di Dompu, Sumbawa.

Kini berusia 54 tahun.

 

Jurnal ilmiahnya mencapai 110.

 

Jurnal tentang solar cell 4 buah.

Ia menemukan teknologi baru material solar cell.

 

Sejak SMP di Dompu.

 Prof Mikra sudah ingin kuliah di ITB.

 

"Waktu saya SMP.

Berita pembuatan CN235 di Bandung.

Lagi gencar-gencarnya.

 

Saya ingin seperti Pak Habibie," ujar Prof Mikra.

 

Sehingga Mikra ingin masuk SMA di Mataram.

 

"Waktu itu.

Belum ada lulusan SMAN Dompu.

Yang diterima di ITB," katanya.

 

Dia masuk SMAN 1 Mataram, di Lombok.

Dan kos di ibu kota NTB itu.

 

Ayah ibunya mendukung.

Suami istri ini sama-sama guru SD.

 

Prof Mikra menulis.

Kenapa nasib perguruan tinggi kita seperti itu.

1.        Dana riset super kecil.

2.        Ilmuwan malas.

3.        Jumlah Ilmuwan sedikit dan dianggap biasa.

 

 

1.        Dana riset super kecil

 

Indonesia 0,3 persen dari PDB.

Turki 1,1 persen.

Meksiko 0,9 persen.

 

 Tidak perlu dibandingkan.

Dengan negara anggota G-20 maju.

 

2.        Ilmuwan malas.

 

Ilmuwan kita malas.

Jika sudah mendapat gelar profesor.

 

"Menjelang mendapat gelar.

Bukan main gigihnya.

 

Begitu tujuan tercapai.

Muncul malasnya," tulisnya.

 

Harusnya setelah jadi guru besar pun.

Terus melakukan penelitian

 

Prof Mikra melakukan banyak penelitian.

 

Di samping soal solar cell.

Dia menemukan material coating.

 

Untuk tiang pancang.

Di daerah yang tanahnya lempung.

 

Ia juga meneliti air limbah.

Agar bisa jadi air minum.

 

Lewat proses nano katalis.

 

Bukan lewat nano membran.

Seperti yang ditemukan guru besar ITB lain.

Yaitu Prof Dr I Gde Wenten.

 

Material solar cell.

Yang ditemukan Mikra.

Belum ada di dunia saat ini.

 

Bahan bakunya murah.

Ada di dalam negeri.

 

Proses pembuatannya.

Juga sederhana.

 

Sel Surya temuan Prof Mikra.

Berbasis TiO2 dan Grafit.

 

Pakai metoda tetes (droplet).

Dengan penyisipan mineral residu.

Sebagai hole scavenger.

 

Sekitar 10 tahun.

Prof Mikra dan tim ITB.

 

Meneliti bidang itu.

Sejak 2008.

 

Prinsipnya:

Bagaimana titanium bisa dipadukan  oksigen.

Tanpa menyatu.

 

Yang satu elektron.

Dan satunya lagi hole.

 

Yaitu listrik negatip dan positif.

 

Agar keduanya tidak menyatu.

Maka dimasukkan unsur nano partikel.

Untuk memisahkannya.

 

Tapi kenapa temuan itu.

Belum dimanfaatkan di dunia nyata?

 

“Masih jauh.

Perlu langkah lanjutan," katanya.

 

Masih jauh itu.

Sudah mulai melangkah.

Atau masih berhenti?

 

“Ya, masih berhenti," jawabnya.

 

Kenapa?

“Bapak kan tahu sendiri," jawabnya.

 

Saya tidak tahu.

Maksimum hanya menebak.

Mungkin soal anggaran riset.

 

Mengapa Mikra memilih  melakukan penelitian bidang itu?

 

"Agar kita bisa melompat.

Jika meneliti yang sudah ada.

 

Maka kita hanya jadi pengikut.

Di belakang negara lain," jawabnya.

 

Mikra mengakui.

Efisiensi solar cell-nya.

Masih rendah.

 

Baru 3 persen.

Artinya, dari tenaga matahari.

Yang ditangkap.

Baru 3 persennya jadi listrik.

 

Hal itu jauh dari kemampuan solar cell.

Di pasaran sekarang.

 

Yaitu 12 - 16 persen.

 

Memang ada yang mengaku.

Bisa sampai 18 - 20 persen.

Tapi begitu marketing.

 

Jika 3 persen itu pun.

Sebenarnya tak masalah.

 

Sebab investasinya sangat murah.

 

Katakan 3 persen itu.

Hanya 1/5 kemampuan solar cell.

Yang digunakan.

 

Tapi biayanya sangat kecil.

Tak sampai 1/5-nya.

 

Konsekuensinya.

Bidang hamparannya harus lebih luas.

 

Tapi sangat mungkin.

 Sebab seluruh bidang rumah.

Bisa dilapisi solar cell-nya Mikra ini.

 

Bahan-bahan tadi.

Dilembutkan.

Dicampur jadi satu.

Lalu disemprotkan ke seluruh atap.

 

Juga seluruh tembok.

Semprotan itu jadi lapisan luar.

Pada atap genteng atau apa pun.

 

Tapi, masih terhenti sekarang ini.

 

Prof Mikra kini tinggal di Bandung.

Anaknya 3 orang.

Cukup.

Tidak seperti dirinya: 10 bersaudara.

 

Istrinya juga dari Dompu.

Lulusan pertanian Universitas Hasanuddin.

 

"Ibu yang memilih istri untuk saya.

Dia murid ibu saya," kata Mikra.

 

Cita-cita Mikra seperti Habibie.

Sebagian tercapai.

 

Dia mendapat Habibie Award.

Tahun 2018.

 

Penyebab nomor 3.

Lemahnya perguruan tinggi kita.

 

Yaitu yang rajin melakukan penelitian.

Dan menghasilkan jurnal ilmiah.

 

Di perguruan tinggi.

Jumlahnya sedikit.

 

Mereka banyak mengatrol nilai perguruan tinggi.

 

"Tapi perlakuan kepada kelompok pengatrol mutu itu tidak istimewa.

 

Sama saja dengan yang bukan pengatrol," katanya.

 

Apakah faktor sikap beragama.

Tidak ikut jadi penyebab?

 

"Sebenarnya ikut jadi penyebab.

Tapi saya takut menyebutkan.

Sensitif," katanya.

 

Syukurlah KTT G-20.

Bisa dipakai penggugat level perguruan tinggi kita.

 

Siapa tahu.

Bisa naik kelas 16 besar dunia.

 

(Sumber Dahlan Iskan)

 

Mikra Gugat

 

Oleh: Dahlan Iskan

Kamis 14-07-2022

 

Mikrajudin Abdullah)

 

 

0 comments:

Post a Comment