NEGARA INDONESIA MILIK
SEMUA RAKYAT
Oleh: Drs. H. M.
Yusron Hadi, M.M
Negara Milik Semua
Indonesia merdeka sudah 76
tahun.
Indonesia berbangsa bahkan
berabad-abad lamanya.
Mestinya, segenap warga dan
elite negeri makin dewasa dalam berindonesia.
Ibarat buah makin matang.
Seperti ilmu padi.
Makin tua kian merunduk ke
bumi.
Tapi masih saja ada yang
belum akil-balig.
Dalam berbangsa dan
bernegara.
Semisal elite negeri.
Yang menyatakan suatu
Kementerian Negara.
Lahir untuk golongan
tertentu.
Sehingga layak dikuasai kelompoknya.
Suatu narasi radikal.
Yang menunjukkan rendahnya
penghayatan keindonesiaan.
Belum terhitung praktik
paradoks lain yang sama gawat.
Dunia politik, ekonomi, dan
kekayaan alam.
Dikuasai sekelompok kecil
pihak.
Dan ramai membangun sangkar
besi oligarki.
Negara Republik Indonesia
yang susah payah diperjuangkan kemerdekaannya.
Oleh seluruh rakyat.
Dengan segenap jiwa raga.
Direngkuh menjadi miliknya.
Inilah ironi keindonesiaan.
Suatu ironi bernegara.
Yang sejatinya berlawanan
arus.
Dengan gempita Aku
Pancasila.
Aku Indonesia.
Aku Bhinneka Tunggal Ika.
Dan NKRI harga mati.
Ironi sebagai bukti.
Indonesia ternyata belum menjadi milik semua!
Disorientasi Berbangsa
Indonesia itu lahir dan
hidup.
Untuk seluruh rakyat
Indonesia.
Tanpa kecuali.
Sukarno dalam pidato 1 Juni
tahun 1945.
Dalam sidang BPUPKI yang
monumental.
Menyatakan dengan lantang
bahwa,
“Kita hendak mendirikan suatu negara buat semua.
Bukan buat satu orang.
Bukan buat satu golongan.
Bukan golongan bangsawan.
Maupun golongan kaya.
Tetapi semua buat semua”.
Mohammad Hatta menegaskan.
Pentingnya “kolektivisme”
dalam berbangsa dan bernegara.
Dari Dwitunggal pemimpin
Indonesia.
Maupun para pendiri negara lainnya.
Kuat sekali kehendak untuk
menjadikan Indonesia.
Milik bersama seluruh
rakyat Indonesia.
Jiwa gotong-royong
mendasari bangunan Indonesia.
Dalam seluruh aspek
kehidupan.
Agar tidak ada oligarki
politik.
Oligarki ekonomi.
Oligarki keagamaan.
Dan oligarki lainnya.
Yang merusak kebersamaan.
Dan menjadikan Indonesia.
Hanya milik sekelompok
kecil pihak.
Peneliti asing membuat
kesimpulan sangat bijaksana.
Anthony Reid (2018) menulis.
“Indonesia menjadi titik temu.
Persatuan nasional seluruh
rakyat Indonesia.
Dari berbagai golongan.
Sebagai era baru
Yang di era Nusantara
berpencar.
Menjadi entitas
sendiri-sendiri.
Yang tidak mengarah ke
persatuan”.
Padahal, dia bukan bagian Republik
ini.
Dia sekadar pengamat.
Tapi paham jati diri
keindonesiaan.
Yang dibentuk dan dibangun atas
dasar kebersamaan.
Artinya, keberadaan dan
masa depan Indonesia.
Menyatu dengan seluruh
rakyat.
Yang termanifestasi dalam
beragam agama.
Ras, suku bangsa, daerah,
dan golongan.
Dalam satu kesatuan.
Yang tidak bisa
dipisah-pisah.
Kesatuan tanpa
diksriminasi.
Kebersamaan tanpa dominasi.
Keutuhan tanpa serpihan.
Harmoni tanpa arogansi.
Seolah Republik ini hanya
didirikan oleh, dari, dan untuk dirinya.
Itu kesejatian Bhinneka
Tunggal Ika autentik.
Indonesia milik semua.
Sudah disegel oleh
konstitusi.
Kemerdekaan Indonesia untuk
mewujudkan kehidupan
Yang bersatu di samping
berdaulat, adil, dan makmur.
Yang menjadi cita-cita
nasional.
Pemerintahan Negara
Indonesia.
Antara lain, untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia.
Dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
serta untuk memajukan
kesejahteraan umum.
Sila ke-3 Pancasila.
Yaitu Persatuan Indonesia.
Sila ke-4.
Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Sila ke-5.
Adalah mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kurang apa lagi?
Semua menunjukkan substansi
yang hakiki.
Bahwa Negara Republik
Indonesia merdeka.
Untuk semua rakyat
Indonesia.
Tanpa kecuali, tanpa
diskriminasi.
Dan tanpa arogansi.
Oleh sekelompok kecil
maupun besar.
Tanpa apa pun yang merusak
keutuhan, persatuan, dan kebersamaan.
Bhinneka Tunggal Ika.
Bahkan telah menyatu
menjadi darah daging keindonesiaan di Republik ini.
Jika benar-benar dipahami
dan dihayati.
Untuk dipraktikkan dengan
bukti.
Karenanya, ketika ada warga
dan elite bangsa.
Atau golongan apa pun.
Yang mengklaim Indonesia
seolah miliknya.
Dan diperuntukkan bagi diri
dan kelompoknya.
Sejatinya bertentangan.
Dan keluar dari fondasi.
Yang menjadi jiwa, pikiran,
koridor, cita-cita.
Dan tujuan Indonesia
merdeka.
Tidak sejalan dengan
eksistensi Negara Indonesia.
Berdiri sebagai bangsa dan
negara.
Sama halnya bila muncul
asumsi.
Bahwa Negara Indonesia yang
tidak dikelola olehnya.
Maka salah semua.
Pandangan, sikap, dan
orientasi tindakan ironi.
Jelas bentuk disorientasi
berbangsa dan bernegara!
Jiwa Bernegara
Ernest Renan tahun 1882
menulis.
“… bangsa (nation) itu ialah suatu solidaritas
besar.
Yang terbentuk karena
adanya kesadaran.
Bahwa orang telah berkorban
banyak.
Dan bersedia untuk memberi
korban itu lagi.
… yakni persetujuan, keinginan.
Yang dinyatakan secara
tegas.
Untuk melanjutkan hidup
bersama (le desir de vivre ensemble)…”.
Menurut filsuf Prancis.
Yang menjadi rujukan
pikiran para pendiri bangsa.
Seperti Sukarno, Mr
Soenarjo, Mr Mohammad Yamin.
Bahwa “asas kebangsaan
(nasionalitas) berbeda dengan asas ras”.
Negara Indonesia terbentuk
oleh keutuhan seluruh komponen bangsa.
Indonesia akan hilang
eksistensinya.
Jika sudah
terkapling-kapling.
Oleh arogansi dan oligarki
diri, kroni, golongan, konspirasi.
Dan segala bentuk penguasaan.
Yang mengeliminasi
kebersamaan, kesatuan, kebhinekaan.
Dan prinsip negara milik
semua.
Jika hal itu terjadi.
Prinsip demokrasi.
Yang meletakkan negara dan
penguasaan negara oleh, dari, dan untuk semua rakyat.
Menjadi terkoreksi,
tererosi, terdistorsi, dan terkorupsi.
Di negeri ini tidak
semestinya berkembang.
Siapa yang kuat dan yang
menang.
Menguasai Indonesia dalam
hukum Darwinian.
Jika hal itu terjadi.
Indonesia dapat terpapar
“radikalisme-ekstrem” bentuk lain.
Yang tentu saja tidak sejalan
dengan Pancasila dan Konstitusi 1945.
Indonesia wajib hukumnya
untuk menjadi milik semua.
Masa depan bangsa dan
negara pun terancam.
Dan menjadi ladang
pertaruhan.
Melebihi atau menyamai
ancaman radikalisme.
Jika dikuasai oleh
sekelompok pihak.
Yang merusak bangunan dasar
keindonesiaan.
Pemerintah negara wajib
hadir.
Untuk melindungi seluruh
rakyat dan tumpah darah Indonesia.
Serta mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintahan negara dari
pusat sampai daerah.
Beserta seluruh institusi
yang melekat di dalamnya.
Harus menjadi milik semua.
Yang mengayomi, memayungi,
menyantuni, melayani.
Dan melindungi semua.
Ancaman keindonesiaan bukan
hanya separatisme fisik.
Tapi dapat berupa
separatisme nonfisik.
Dalam segala hasrat
hegemoni, dominasi, dan oligarki.
Atas nama apa pun.
Dan oleh siapa pun.
Atau kelompok mana pun.
Para warga dan lebih-lebih
elite bangsa.
Niscaya memupuk jiwa
negarawan.
Yang meletakkan kepentingan
Indonesia.
Di atas kepentingan diri,
kroni, kelompok, golongan.
Dan segala primordialisme.
Yang mencederai
keindonesiaan.
Jiwa kenegarawanan yang luhur.
Mesti dijadikan alam
pikiran, sikap, dan orientasi tindakan nyata.
Dalam berbangsa dan
bernegra.
Bukan jiwa negarawan
sebagai slogan indah.
Pada narasi kata dan retorika.
Tapi miskin tindakan dan
bukti nyata.
Jiwa negarawan autentik
antara kata dan perbuatan.
Bukan dalam jargon heroik
kebinekaan dan keindonesiaan.
Yang terkunci dalam
verbalisme NKRI harga mati.
Hanya untuk kepentingan
diri sendiri.
Bagi kaum beriman.
Jiwa kenegarawanan dalam
berbangsa dan bernegara.
Mesti lahir dari tauhid.
Yang menundukkan segala
ananiyah diri.
Di atas otoritas Allah Yang
Maha Kuasa.
Kuasa duniawi itu nisbi dan
titipan Tuhan.
Yang mesti dirawat dengan
jiwa terpercaya.
Sebaliknya, mesti
dieliminasi segala wujud nafsu duniawi yang melampaui batas.
Nabi mengingatkan.
Jika manusia diberi satu
gunung emas.
Dia akan meminta gunung
yang kedua.
Setelah diberi yang kedua.
Dia minta gunung emas
ketiga.
Hanya kematian yang memutus
nafsu serakah itu.
(QS at-Takatsur: 1-2).
Mandat kekuasaan duniawi
bagi orang beriman.
Bukan barang indrawi.
Yang mesti dikuasai menjadi
milik sendiri.
Dengan arogansi dan lupa
diri.
Takhta itu amanah sangat
berat.
Yang harus tanggung jawab
di mahkamah Tuhan.
Allah mengingatkan dengan
firman-Nya,
“Sungguh, Allah menyuruhmu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
Dan jika kamu menetapkan
hukum di antara manusia.
Hendaknya kamu menetapkan
dengan adil.
Sungguh, Allah sebaik-baik
yang memberi pengajaran kepadamu.
Sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat.”
(QS an-Nisa: 58).
Jika hasrat kuasa diri dan
kroni menjelma menjadi sangkar besi.
Lantas di mana ajaran luhur
agama dan nilai suci Ilahi masuk ke jantung hati!
(Haidar Nashir)
(Sumber republika)
0 comments:
Post a Comment