TANAH DAN AIR NIKMAT DARI ALLAH
WAJIB DISYUKURI
Oleh: Drs. H. M.
Yusron Hadi, M.M
Tanah dan air anugerah dari
Allah.
Wajid disyukuri.
Manusia lahir ke dunia.
Tak bermodal apa-apa.
Anak cucu Adam.
Hanya diamanati.
Untuk merawat.
Dan mengolahnya.
Selaku khalifah.
Tugas utama memakmurkannya.
Dilarang keras merusak.
Dan menyalahgunakan.
Sebagian orang.
Menjadikan tanah dan air.
Seolah sakral.
Hal itu tipe alam pikiran
mistis.
Menurut C.A. van Peursen.
Bagi orang berpikiran
fungsional pragmatis.
Tanah dan air.
Jadi objek uang, bisnis dan
eksploitasi.
Tak berkesudahan.
Kadang paradoks.
Tanah dan air.
Yang sedikit dikeramatkan.
Tapi yang luas dan aset vital.
Malah diobral murah.
Sekelompok kecil orang
menguasainya melimpah.
Tapi rakyat banyak.
Tak dapat jatah.
Mereka sekadar jadi
penonton.
Himpunan bangunan megah.
Bagi petani.
Seonggok tanah dan air.
Adalah nasib hidup.
Mereka malah menjadi gurem.
Yang hidupnya dililit
masalah.
Saat susah.
Tak ada yang peduli.
Selain hanya di pesta demokrasi.
Saat suaranya diperlukan.
Oleh para pemburu
populisme.
Sehabis itu.
Mereka dilupakan.
Di kota-kota besar.
Sebagian anak bangsa.
Tak bertanah dan tak
berumah.
Hidupnya nomaden.
Di zaman modern.
Jangankan sejengkal tanah.
Untuk dapat sesuap nasi pun.
Sangat susah.
Bisa bertahan hidup.
Hal yang luar biasa.
Tanah dan air.
Adalah modal utama.
Lahirnya tanah air.
Tempat negara dan bangsa.
Lahir, tumbuh, dan
berkembang.
Tanah air.
Bukan lagi sekadar unsur
fisik.
Tapi bernyawa.
Kata Mr. Soepomo.
Membangun pun tidak cukup
ragawi.
Harus menyertakan jiwa.
Sebab semegah apa pun.
Bangunan fisik.
Suatu saat akhirnya lapuk.
Tanah air Indonesia.
Punya sumber nilai utama.
Menurut Soekarno,
“philosophische grondslag”.
Atau
“Weltanschauung."
Hal itu.
“Fundamen, filsafat,
pikiran.
Yang sedalam-dalamnya jiwa.
Hasrat yang
sedalam-dalamnya.
Untuk di atasnya.
Didirikan gedung Indonesia
Merdeka.
Yang kekal dan abadi.”
Semoga seluruh warga.
Dan elite bangsa menghayati.
Bahwa tanah air itu
bernyawa.
Dan berpondasikan nilai
utama Pancasila.
Pancasila dalam kebijakan.
Dan tindakan nyata.
Bukan jargon.
Dan kemewahan retorika.
Ketika alam pikir
fungsional-pragmatis menguat.
Semoga para aktor Negara.
Masih ada.
Yang menghayati adanya tanah
air.
Sebagai satu kesatuan hidup
yang berjiwa.
Untuk kemakmuran bersama.
Jika tanah air.
Dirawat dengan benar.
Dan amanah.
Tentu akan menjadi negeri
nan jaya.
Seperti harapan dalam lirik
lagu Ibu Pertiwi:
“Kulihat ibu pertiwi.
Kami datang berbakti.
Lihatlah putra-putrimu.
Menggembirakan ibu.
Ibu kami tetap cinta.
Putramu yang setia.
Menjaga harta pusaka.
Untuk nusa dan bangsa.”
Tanah air.
Jangan bernasib buruk.
Karena salah urus.
Sekadar dibangun ragad
fisiknya.
Tanpa berjiwa.
Apalagi dieksploitasi.
Demi segala legasi.
Seperti lirik perih.
Bait awal lagu Ibu Pertiwi:
“Kulihat ibu pertiwi.
Sedang bersusah hati.
Air matanya berlinang.
Mas intannya terkenang.
Hutan gunung sawah lautan.
Simpanan kekayaan.
Kini ibu sedang lara.
Merintih dan berdoa.”
Jangan bikin Ibu Pertiwi
lara.
Karena tanah-airnya
terkuras.
Segala hasrat bermegah ria.
Tanah air itu ada
pemiliknya.
Dia Sang Khalik.
Manusia sekadar dititipi.
Untuk memakmurkannya.
Dan tidak boleh merusaknya.
Hatta atas nama membangun.
Tapi faktanya merusak.
Al-Quran surah Al-Baqarah (surah
ke-2) ayat 11.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Dan jika dikatakan kepada mereka:
"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi".
Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan".
Tanah air dibangun mewah.
Jika salah kaprah.
Maka buahnya nestapa dan
musibah.
Tiap insan tak layak
jemawa.
Sebatas hamba di depan
Kuasa-Nya.
Hari ini kita perkasa.
Esok hari tak tahu nasib
seketika.
Al-Quran surah Lukman (surah
ke-31) ayat 34.
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ
السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا
تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ
تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah, hanya pada
sisi-Nya saja pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia Yang menurunkan hujan,
dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak
ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok. Dan
tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Sumber Prof. Haedar Nashir)
0 comments:
Post a Comment