BENARKAH INDONESIA MASIH SEPARUH MERDEKA
Oleh: Drs. H. M.
Yusron Hadi, M.M
Setengah Kemerdekaan.
Merayakan Proklamasi dalam Ironi.
Kita
merdeka utuh.
Dan
sepenuhnya.
Atau
sekadar kemerdekaan semu.
Setengah
merdeka.
Mungkin
lebih baik.
Daripada
merdeka semu.
TNI, Polri.
Dan hampir semua institusi negara.
Belum tunjukkan performa terbaiknya.
Alih-alih berprestasi.
Dan secara hakiki.
Mampu menjaga kedaulatan.
Rakyat dan negara.
Kebanyakan aparatur pemerintah.
Justru terus mereduksi.
Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Distorsi penyelenggaraan.
Kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seperti representasi.
Para perilaku pejabat.
Dan pemimpin.
Yang tak berbudi pekerti.
Dan tak manusiawi.
Kasihan
rakyat.
Dan
betapa miris hidupnya.
Suasana
77 tahun lndonesia merdeka.
Seperti
merayakan proklamasi.
Dalam
ironi.
Sebagai
sebuah negara.
Indonesia
memang tidak seperti Irak, Libya, Mesir, atau Suriah.
Yang
hancur akibat perang.
Dan
pergolakan kekuasaan.
NKRI
belum bangkrut.
Seperti
Srilanka.
Apa
yang terjadi di beberapa negara.
Di
semenanjung Arab.
Dan
Asia Selatan.
Belum
menjangkiti negeri berlandaskan Pancasila.
Dan
semangat nasionalismenya.
Yang
pernah merangsang.
Kemerdekaan
bangsa Asia-Afrika.
Lewat
Konferensi Asia Afrika.
Pada
tahun 1955.
Tapi
gejala jadi negara gagal.
Mulai
terasa.
Dalam
struktur sosial politik.
Bangsa
Indonesia.
Pemerintahan
dan rakyat.
Tak
ubahnya habitat.
Yang
berhimpun jadi republik pesakitan.
Larut
dalam kemunduran peradaban.
Dan
kemiskinan kemanusiaan.
Terutama
dalam memaknai.
Kemerdekaan
negara bangsanya.
Sudah
77 tahun mereka.
Tapi
rakyat Indonesia.
Merasa
ganjil.
Proklamasi
kemerdekaan.
Yang
dikumandangkan.
Ke
seantero dunia.
Seakan
tak pernah.
Menemukan
bentuk sesungguhnya.
Tak
implementatif.
Dan
tak kunjung meraih tujuannya.
Keinginan
menjadi negara.
Yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Serta
ikut menciptakan ketertiban.
Dan
perdamaian dunia.
Seperti
dalam pembukaan UUD 1945.
Tampak
jauh api dari panggang.
Proses
penyelenggaraan negara.
Dan
realitas hidup rakyat.
Sangat
kontradiktif.
Dari
cita-cita merdeka.
Tak
sekadar hilang akal sehat.
Jadi
bangsa dungu.
Dan
terbelakang.
Bahkan
indikasi bangsa korup dan hipokrit.
Hinggap
pada segenap.
Aparatur
pemerintah.
Dan
sebagian besar rakyat.
Yang
negerinya kaya.
Bhinneka
dan majemuk budaya.
Serta
sumber daya alamnya.
Minimal
3 ganjil dalam bernegara, yaitu:
1.
Pemerintah gagal mewujudkan cita
cita luhur Pancasila.
2.
Negara gagal menerapkan UUD 1945
dalam praktik nyata.
3.
NKRI seperti menuju negara gagal.
Dalam
refleksi 77 tahun merdeka.
Negara
melalui kinerja pemerintahan.
Telah
lama gagal mewujudkan Pancasila.
Sebagai
dasar negara.
Dan
falsafah bangsa yang praksis.
Sistem nilai dalam 5 sila Pancasila.
Hampir secara umum.
Telah lama meninggalkan hakikat dan
prinsip kebangsaan.
Aspek menyeluruh hidup rakyat.
Tata-kelola negara.
Dan dinamika kebangsaan.
Makin tercerabut dari akar dan value.
Serta tatanan etos dan mitos
Pancasila.
Dalam jangka waktu panjang.
Mayoritas
bangsa Indonesia.
Justru
menjadikan ideologi.
Dan
gaya hidup.
Di
luar pakem Pancasila.
Bangsa
Indonesia.
Cenderung
menjadikan keyakinan.
Tradisi
dan orientasi bangsa luar.
Sebagai
panutannya.
Misalnya
kapitalis dan komunis.
Kuat
mencengkeram dan digdaya.
Di
belahan global dan Bumi Nusantara.
Bukan
Pancasila,’
Bahkan
bukan juga agama.
Tapi
liberal dan sekuler.
Telah
jadi “the way of life”.
Hampir
seluruh populasi manusia Indonesia.
Udara
kapitalis dan komunis.
Menyebarkan
aroma materi.
Dan
cinta dunia.
Dihirup
dalam-dalam.
Dan
jadi napas.
Segenap
rakyat, negara, dan bangsa Indonesia.
Ketuhanan
menjadi seolah-olah.
Banyak orang beragama.
Tapi
sesunguhnya tak bertuhan.
Kemanusiaan
tampil kebalikannya.
Hanya
terlihat biadab.
Dan
tragedi manusia.
Persatuan
telah jadi api dalam sekam.
Sewaktu-waktu
dan seketika.
Bisa
menyemburkan konflik.
Dan
perpecahan bangsa.
Pembelahan
sosial makin tajam.
Menyayat
luka sulit terobati.
Permusyawaratan
rakyat.
Jadi
pesta demokrasi.
Yang
hedon, glamour, dan transaksional.
Pemimpin
dan wakil rakyat.
Bukan
orang jujur dan baik.
Tapi
orang kaya.
Yang
berhak jadi pemimpin dan wakil rakyat.
Logika
konstitusi formal dan normatif.
Terus
memproduksi.
Pemimpin
boneka dan badut.
Tapi
keadilan.
Hanya
hadir bagi yang punya uang, jabatan, dan kekuasaan.
Pancasila
sempurna dan begitu indah.
Tapi
dalam mimpi.
Dan
jadi begitu horor mengerikan.
Dalam
praktik kenyataannya.
Rakyat
Indonesia terobsesi.
Dan
utopis.
Terhadap
Pancasila.
Sembari
menikmati kenyataan pahit bernegara.
Rakyat
sengsara.
Dan
hidup menderita.
Jauh
lebih keji.
Daripada
zaman kolonial.
Begitulah
rakyat menjalani hidup.
Dalam
alam merdeka era modern.
Kemerdekaan.
Hanya
mengantarkan rakyat Indonesia.
Dari
penjajahan ke penjajahan lain.
Dari
penjajahan bangsa asing.
Ke
penjajahan bangsa sendiri.
Terus
silih berganti.
Terkadang
konspirasi keduanya.
UUD 1945 gagala dalam implementasi.
Terjadi manipulasi.
Dan kamuflase UUD 1945.
Bertopeng amandemen.
Dan berujung UUD 2002.
Hingga ke Omnibus Law.
Dan mungkin UU KUHP.
Usai itu.
Konstitusi sakral negara.
Jadi alat kekuasaan.
Yang melegalkan orang jahat dalam
pemerintah.
Mengubah abdi negara.
Jadi abdi penguasa.
Praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Terbuka dan terselubung.
Jadi kejahatan resmi aparatur
negara.
Seiring kejahatan susulan.
Jadi tren dan serba permisif.
Tampil mewah, berwibawa.
Dan arogan pamer bobroknya.
Konsitusi
bukan hanya sekadar.
Berwujud
hukum tajam ke bawah.
Dan
tumpul ke atas.
Bahkan
perilaku para penguasa.
Telah
menjadi hukum.
Dan
di atas hukum.
Dari
negeri yang dihuni.
Banyak
para bedebah ini.
UUD 1945 lama tenggelam.
Di
dasar kenistaan bangsa.
Pasal
dan klausulnya direkayasa.
Dibuat
sedemikian rupa.
Untuk
memuliakan, melindungi.
Dan
melanggengkan kekuasaan.
Sembari
terus menghina.
Merendahkan
dan menganiaya.
Serta
membunuh rakyatnya sendiri.
Rakyat
sesak napas dan mengurut dada.
Dieksplotasi
membiayai pemerintah.
Dan
aparatur negara.
Tanpa
disadari rakyat.
Rakyat
babak-belur bertubi-tubi.
Mengenyam
rezim kekuasaan zalim.
Yang
dihidupinya sendiri.
NKRI terus melesat menuju negara
gagal.
Sudah 77 tahun.
Menyelenggarakan hidup berbangsa dan
bernegara.
Alat negara hanya mampu.
Menghasilkan masyarakat.
Tanpa pemerintah.
Dan negara tanpa pemimpin.
Tanpa para pemimpin.
Yang mutlak berahlak mulia.
Jadi faktor fundamen dan signifikan.
Sehingga moral merosot.
Dan degradasi bangsa.
NKRI cenderung melepaskan substansi.
Dan esensi merdekanya.
Yang susah payah diraih.
Dengan korban keringat, darah, dan
nyawa.
Karena ulah pejabat dan pemimpinnya.
Penguasa memegang kendali
pemerintah.
Berwatak tiran, otorier, dan
diktator.
Negara
telah nyata.
Meskipun
samar.
Tapi
tetap dikuasai para oligarki.
Birokrat,
politisi, dan sebagian pemuka agama.
Telah
berkembang biak dan subur.
Jadi
ternak oligarki.
Partai
politik tak lepas.
Dari
irisan para pemilik modal.
Perpanjangan
tangan partai politik.
Merambah
dominan dan hegemoni.
Dalam
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kekuasaan
menindas rakyat.
Mengangkangi
amanat para pendiri bangsa.
Dan
mengebiri cita-cita proklamasi lndonesia merdeka.
Begitulah
elite kekuasaan.
Menampakkan
wajah dan perangainya.
Teriak
keras sembari mengonggong.
Mengaku
paling Pancasila.
Paling
NKRI.
Dan
‘saya paling cinta Indonesia’.
Tapi
bersamaan dengan itu.
Tak
tahu malu jadi pelacur.
Dan
pengkhianat negeri ini.
NKRI
dalam pengertian hakiki.
Berangsur-angsur
bubar.
Dan
terlepas dari genggaman rakyat.
Meskipun
secara seremonial.
Tiap
tahun diperingati hari merdekanya.
Demikian
aspek indikator terpuruknya negara bangsa Indonesia.
Suatu
hal yang mengenaskan.
Terlebih
dalam momentum memperingati hari merdeka.
Negara
telah keluar dari treknya.
Menyimpang
jauh dari tujuan nasional.
Penyelenggara
negara membuat “broken bridge”.
Menghancurkan
cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Yang
jadi jembatan emas.
Diperjuangkan
dan dibangun.
Para
pendiri bangsa.
Dan
para pahlawan lainnya.
Penyimpangan
perilaku aparatur negara.
Terstruktur,
sistematik dan masif.
Mengubur
mimpi rakyat Indonesia.
Untuk
nikmat adil dan makmur.
Dalam
negara sejahtera.
Indonesia
tidak konflik dan perang.
Seperti
di negara lain.
Bahkan
hingga saat ini.
Indonesia bukan negara miskin.
Yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan
sumber daya alamnya.
Tapi
mungkin pikiran dan tindakan para pemimpin kerdil.
Membuat
bangsa ini.
Mengalami
miskin struktural.
Dan
bodoh sistemik.
Pandemi
korupsi, utang negara kebablasan.
Kejahatan
terorganisir.
Oleh
aparat intitusi pemerintah.
Dan
pelbagai kerusakan mental birokrasi.
Pada
kehidupan negara.
Membuat
kemerdekaan Indonesia.
Jadi
tak bermakna.
Khususnya
bagi rakyat terpinggirkan.
Tampaknya,
rakyat Indonesia.
Harus
puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya.
Sekadar
mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih.
Sambil
menikmati perayaan kecil-kecilan.
Lomba
permainan olah raga.
Dan
ketangkasan di pelosok.
Dan
ujung-ujung gang.
Dalam
perkotaan dan pedesaan.
Yang
kini tak lagi semeriah dulu.
Begitulah
cara rakyat.
Memperingati
hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan
yang diperjuangkan nenek moyangnya.
Tanpa
tahu apakah kemerdekaan sejati.
Atau
kemerdekaan seolah-olah.
Yang
dirasakannya.
Kemerdekaan
yang utuh.
Dan
sepenuhnya.
Yang
sekarang ada.
Atau
cuma sekadar kemerdekaan semu.
Setengah
kemerdekaan.
Mungkin
lebih baik.
Dibandingkan
kemerdekaan semu.
Mari
kita bertanya pada “silent mayority”.
Yang
selama ini diam, tunduk.
Dan
tak berdaya.
Karena
represi rezim kekuasaan.
Bahkan
pada rakyat.
Yang
hanya ingin bersuara.
Dan
berekspresi.
Apakah
bangsa ini benar telah merdeka?
Dirgahayu
Indonesia ke-77.
Selamat
merayakan setengah kemerdekaan.
Merayakan
proklamasi dalam ironi.
(Sumber
kba)
Munjul,
Cibubur-13 Agustus 2022.
.png)
0 comments:
Post a Comment