Sunday, August 14, 2022

14399. BENARKAH INDONESIA MASIH SEPARUH MERDEKA

 

 


 

BENARKAH INDONESIA MASIH SEPARUH MERDEKA

Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

 

 

 

Setengah Kemerdekaan.

 Merayakan Proklamasi dalam Ironi.

 

Kita merdeka utuh.

Dan sepenuhnya.

 

Atau sekadar kemerdekaan semu.

 

Setengah merdeka.

Mungkin lebih baik.

 

Daripada merdeka semu.

 

TNI, Polri.

Dan hampir semua institusi negara.

 

Belum tunjukkan performa terbaiknya.

 

Alih-alih berprestasi.

Dan secara hakiki.

 

Mampu menjaga kedaulatan.

Rakyat dan negara.

 

Kebanyakan aparatur pemerintah.

 

Justru terus mereduksi.

Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.

Distorsi penyelenggaraan.

Kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Seperti representasi.

Para perilaku pejabat.

Dan pemimpin.

 

Yang  tak berbudi pekerti.

Dan tak manusiawi.

 

Kasihan rakyat.

Dan betapa miris hidupnya.

 

Suasana 77 tahun lndonesia merdeka.

Seperti merayakan proklamasi.

Dalam ironi.

 

Sebagai sebuah negara.

Indonesia memang tidak seperti Irak, Libya, Mesir, atau Suriah.

 

Yang hancur akibat perang.

Dan pergolakan kekuasaan.

 

NKRI belum bangkrut.

Seperti Srilanka.

 

Apa yang terjadi di beberapa negara.

Di semenanjung Arab.

Dan Asia Selatan.

 

Belum menjangkiti negeri berlandaskan Pancasila.

Dan semangat nasionalismenya.

 

Yang pernah merangsang.

Kemerdekaan bangsa Asia-Afrika.

 

Lewat Konferensi Asia Afrika.

Pada tahun 1955.

 

Tapi gejala jadi negara gagal.

Mulai terasa.

 

Dalam struktur sosial politik.

Bangsa Indonesia.

 

Pemerintahan dan rakyat.

Tak ubahnya habitat.

 

Yang berhimpun jadi republik pesakitan.

Larut dalam kemunduran peradaban.

Dan kemiskinan kemanusiaan.

 

Terutama dalam memaknai.

Kemerdekaan negara bangsanya.

 

Sudah 77 tahun mereka.

Tapi rakyat Indonesia.

Merasa ganjil.

 

Proklamasi kemerdekaan.

Yang dikumandangkan.

Ke seantero dunia.

 

Seakan tak pernah.

Menemukan bentuk sesungguhnya.

 

Tak implementatif.

Dan tak kunjung meraih tujuannya.

 

Keinginan menjadi negara.

Yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

 

Serta ikut menciptakan ketertiban.

Dan perdamaian dunia.

 

Seperti dalam pembukaan UUD 1945.

Tampak jauh api dari panggang.

 

Proses penyelenggaraan negara.

Dan realitas hidup rakyat.

 

Sangat kontradiktif.

Dari cita-cita merdeka.

 

Tak sekadar hilang akal sehat.

 

Jadi bangsa dungu.

Dan terbelakang.

 

Bahkan indikasi bangsa korup dan hipokrit.

Hinggap pada  segenap.

 

Aparatur pemerintah.

Dan sebagian besar rakyat.

 

Yang negerinya kaya.

Bhinneka dan majemuk budaya.

Serta sumber daya alamnya.

 

Minimal 3 ganjil dalam bernegara, yaitu:

 

1.        Pemerintah gagal mewujudkan cita cita luhur  Pancasila.

 

2.        Negara gagal menerapkan UUD 1945 dalam praktik nyata.

 

3.        NKRI seperti menuju negara gagal.

 

Dalam refleksi 77 tahun merdeka.

Negara melalui kinerja pemerintahan.

 

Telah lama gagal mewujudkan Pancasila.

Sebagai dasar negara.

Dan falsafah bangsa yang praksis.

 

Sistem nilai dalam 5 sila Pancasila.

Hampir secara umum.

 

Telah lama meninggalkan hakikat dan prinsip kebangsaan.

Aspek menyeluruh hidup rakyat.

 

Tata-kelola negara.

Dan dinamika kebangsaan.

 

Makin tercerabut dari akar dan value.

Serta tatanan etos dan mitos  Pancasila.

 

Dalam jangka waktu panjang.

Mayoritas bangsa Indonesia.

 

Justru menjadikan ideologi.

Dan gaya hidup.

Di luar pakem Pancasila.

 

Bangsa Indonesia.

Cenderung menjadikan  keyakinan.

Tradisi dan orientasi bangsa luar.

Sebagai panutannya.

 

Misalnya kapitalis dan komunis.

Kuat mencengkeram dan digdaya.

Di belahan global dan Bumi Nusantara.

 

Bukan Pancasila,’

Bahkan bukan juga agama.

 

Tapi liberal dan sekuler.

Telah jadi “the way of life”.

 

Hampir seluruh populasi manusia Indonesia.

 

Udara kapitalis  dan komunis.

Menyebarkan aroma materi.

 

Dan cinta dunia.

Dihirup dalam-dalam.

 

Dan  jadi napas.

Segenap rakyat, negara, dan bangsa Indonesia.

 

Ketuhanan menjadi seolah-olah.

 Banyak orang beragama.

Tapi sesunguhnya tak bertuhan.

 

Kemanusiaan tampil kebalikannya.

Hanya terlihat biadab.

Dan tragedi manusia.

 

Persatuan telah jadi api dalam sekam.

Sewaktu-waktu dan seketika.

 

Bisa menyemburkan konflik.

Dan perpecahan bangsa.

 

Pembelahan sosial makin tajam.

Menyayat luka sulit terobati.

 

Permusyawaratan rakyat.

Jadi pesta demokrasi.

Yang hedon, glamour, dan transaksional.

 

Pemimpin dan wakil rakyat.

Bukan orang jujur dan baik.

 

Tapi orang kaya.

Yang berhak jadi pemimpin dan wakil rakyat.

 

Logika konstitusi formal dan normatif.

Terus memproduksi.

Pemimpin boneka dan badut.

 

Tapi keadilan.

Hanya hadir bagi yang punya uang, jabatan, dan kekuasaan.

 

Pancasila sempurna dan begitu indah.

Tapi dalam mimpi.

 

Dan jadi begitu horor mengerikan.

Dalam praktik kenyataannya.

 

Rakyat Indonesia terobsesi.

Dan utopis.

Terhadap Pancasila.

 

Sembari menikmati kenyataan pahit bernegara.

 

Rakyat sengsara.

Dan hidup menderita.

 

Jauh lebih keji.

Daripada zaman kolonial.

 

Begitulah rakyat menjalani hidup.

Dalam alam merdeka era modern.

 

Kemerdekaan.

Hanya mengantarkan rakyat Indonesia.

Dari penjajahan ke penjajahan lain.

 

Dari penjajahan bangsa asing.

Ke penjajahan bangsa sendiri.

 

Terus silih berganti.

Terkadang konspirasi keduanya.

 

UUD 1945 gagala dalam implementasi.

 

Terjadi manipulasi.

Dan kamuflase UUD 1945.

 

Bertopeng amandemen.

Dan berujung UUD 2002.

 

Hingga ke Omnibus Law.

Dan mungkin UU KUHP.

 

Usai itu.

Konstitusi sakral negara.

Jadi alat kekuasaan.

 

Yang melegalkan orang jahat dalam pemerintah.

 

Mengubah abdi negara.

Jadi abdi penguasa.

 

Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Terbuka dan  terselubung.

 

Jadi kejahatan resmi aparatur negara.

Seiring kejahatan susulan.

 

Jadi tren dan serba permisif.

Tampil mewah, berwibawa.

Dan arogan pamer bobroknya.

 

 

Konsitusi bukan hanya sekadar.

Berwujud hukum tajam ke bawah.

Dan tumpul ke atas.

 

Bahkan perilaku para penguasa.

Telah menjadi hukum.

Dan di atas hukum.

 

Dari negeri yang dihuni.

Banyak para bedebah ini.

 

 UUD 1945 lama tenggelam.

Di dasar kenistaan bangsa.

 

Pasal dan klausulnya direkayasa.

Dibuat sedemikian rupa.

Untuk memuliakan, melindungi.

Dan melanggengkan kekuasaan.

 

Sembari terus menghina.

Merendahkan dan menganiaya.

Serta membunuh rakyatnya sendiri.

 

Rakyat sesak napas dan mengurut dada.

Dieksplotasi membiayai pemerintah.

Dan  aparatur negara.

 

Tanpa disadari rakyat.

Rakyat  babak-belur bertubi-tubi.

 

Mengenyam rezim kekuasaan zalim.

Yang dihidupinya sendiri.

 

 NKRI terus melesat menuju negara gagal.

 

Sudah 77 tahun.

Menyelenggarakan hidup berbangsa dan bernegara.

 

Alat negara hanya mampu.

Menghasilkan masyarakat.

 

Tanpa pemerintah.

Dan negara tanpa pemimpin.

 

Tanpa para pemimpin.

Yang mutlak berahlak mulia.

 

Jadi faktor fundamen dan signifikan.

Sehingga moral merosot.

Dan degradasi bangsa.

 

NKRI cenderung melepaskan substansi.

Dan esensi merdekanya.

 

Yang susah payah diraih.

Dengan korban keringat, darah, dan nyawa.

 

Karena ulah pejabat dan pemimpinnya.

 

Penguasa memegang kendali pemerintah.

Berwatak tiran, otorier, dan diktator.

 

 

Negara telah nyata.

Meskipun samar.

Tapi tetap dikuasai para oligarki.

 

Birokrat, politisi, dan sebagian pemuka agama.

Telah berkembang biak dan subur.

Jadi ternak oligarki.

 

Partai politik tak lepas.

Dari irisan para pemilik modal.

 

Perpanjangan tangan partai politik.

Merambah dominan dan hegemoni.

Dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

 

Kekuasaan menindas rakyat.

Mengangkangi amanat para pendiri bangsa.

Dan mengebiri cita-cita proklamasi lndonesia merdeka.

 

Begitulah elite kekuasaan.

Menampakkan wajah dan perangainya.

 

Teriak keras sembari  mengonggong.

Mengaku  paling Pancasila.

 

Paling NKRI.

Dan ‘saya paling cinta Indonesia’.

 

Tapi bersamaan dengan itu.

Tak tahu malu jadi pelacur.

Dan pengkhianat negeri ini.

 

NKRI dalam pengertian hakiki.

Berangsur-angsur bubar.

Dan terlepas dari genggaman rakyat.

 

Meskipun secara seremonial.

Tiap tahun diperingati hari merdekanya.

 

Demikian aspek indikator terpuruknya negara bangsa Indonesia.

 

Suatu hal yang mengenaskan.

Terlebih dalam momentum memperingati hari merdeka.

 

Negara telah keluar dari treknya.

Menyimpang jauh dari tujuan nasional.

 

Penyelenggara negara membuat “broken bridge”.

 

Menghancurkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.

 

Yang jadi jembatan emas.

Diperjuangkan dan dibangun.

Para pendiri bangsa.

 

Dan para pahlawan lainnya.

 

Penyimpangan perilaku aparatur negara.

Terstruktur, sistematik dan masif.

Mengubur mimpi rakyat Indonesia.

 

Untuk nikmat adil dan makmur.

Dalam negara sejahtera.

 

Indonesia tidak konflik dan perang.

Seperti di negara lain.

Bahkan hingga saat ini.

 

 Indonesia bukan negara miskin.

 Yang sewaktu-waktu bisa kehabisan kekayaan sumber daya alamnya.

 

Tapi mungkin pikiran dan tindakan para pemimpin kerdil.

Membuat bangsa ini.

 

Mengalami miskin struktural.

Dan bodoh sistemik.

 

Pandemi korupsi, utang negara  kebablasan.

Kejahatan terorganisir.

 

Oleh aparat intitusi pemerintah.

Dan pelbagai kerusakan mental birokrasi.

Pada  kehidupan negara.

 

Membuat kemerdekaan Indonesia.

Jadi tak bermakna.

Khususnya bagi rakyat terpinggirkan.

 

Tampaknya, rakyat Indonesia.

Harus puas hanya dapat merayakan hari kemerdekaan negaranya.

 

Sekadar mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih.

 

Sambil menikmati perayaan kecil-kecilan.

Lomba permainan olah raga.

 

Dan ketangkasan di pelosok.

Dan ujung-ujung gang.

 

Dalam perkotaan dan pedesaan.

Yang kini tak lagi semeriah dulu.

 

Begitulah cara rakyat.

Memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia.

 

Kemerdekaan yang diperjuangkan nenek moyangnya.

 

Tanpa tahu apakah kemerdekaan sejati.

Atau kemerdekaan seolah-olah.

Yang dirasakannya.

 

Kemerdekaan yang utuh.

Dan sepenuhnya.

Yang sekarang ada.

 

Atau cuma sekadar kemerdekaan semu.

 

Setengah kemerdekaan.

Mungkin lebih baik.

Dibandingkan kemerdekaan semu.

 

Mari kita bertanya pada “silent mayority”.

Yang selama ini diam, tunduk.

Dan tak berdaya.

 

Karena represi rezim kekuasaan.

Bahkan pada rakyat.

Yang hanya ingin bersuara.

Dan berekspresi.

 

Apakah bangsa ini benar telah merdeka?

Dirgahayu Indonesia ke-77.

Selamat merayakan setengah kemerdekaan.

Merayakan proklamasi dalam ironi.

 

(Sumber kba)

Munjul, Cibubur-13 Agustus 2022.

 

0 comments:

Post a Comment