Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Saturday, July 1, 2017

118. TSALABAH

TSA’LABAH, PENDOSA YANG BERTOBAT.
NABI MENGURUS JENAZAHNYA.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

       Tsa’labah bin Abdurrahman, seorang sahabat Nabi. Sekaligus pelayan Nabi. Pada suatu hari. Dia berjalan di depan sebuah rumah. Milik seorang wanita Ansar. Pintu rumah terbuka. Tsa’labah memandang ke dalamnya.
      Wanita Ansar sedang mandi. Tsa’labah terpesona beberapa saat. Melihat pemandangan tersebut. Beberapa waktu kemudian. Dia tersadar. Dia amat takut dan malu. Kalau Nabi mengetahui perbuatannya.
      Apalagi jika turun wahyu. Yang menjelaskan perbuatan maksiatnya. Tsa’labah  segera berlari menjauh. Bersembunyi di pegunungan. Di antara Mekah dan Madinah. Ada yang meriwayatkan. Tsa’labah terjerumus perzinaan.
      Nabi merasa kehilangan sahabatnya. Nabi mencari-cari pelayannya. Menanyakan kepada para sahabatnya. Tetapi, tak ada seorang pun yang mengetahui. Tsa’labah menghilang secara “misterius”.
      Waktu berjalan 40 hari. Nabi mendapatkan wahyu. Malaikat Jibril memberi tahu  Nabi. Tsa’labah bersembunyi di pegunungan. Terletak di antara Mekah dan Madinah. Nabi mengutus Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi untuk mencarinya. Membawa Tsa’labah pulang ke Madinah.
      Kedua sahabat mencari Tsa’labah. Keberadaan Tsa’labah sulit ditemukan. Pada malam hari. Mereka bertemu seorang pengembala. Yang bernama Dzufafa. Umar bin Khattab bertanya kepadanya. Dzufafa berkata,”Mungkin yang kalian maksudkan,  seorang pemuda yang melarikan diri dari neraka Jahanam?”
     “Bagaimana kau tahu, dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar bin Khattab. “Pada tengah malam. Dia keluar dari kelompok kami. Dia naik ke atas bukit. Dia menangis tersedu-sedu. Sambil meletakkan tangan di atas kepalanya,” jawab Dzufafah.
     Dia menangis histeris,”Ya Allah, ampunilah dosaku. Ya Allah. janganlah Engkau menelanjangiku di pengadilan akhirat nanti.” “Ya, benar. Orang itu yang kami cari” kata Umar dan Salman serentak. 
      Dzufafa mengantar kedua sahabat. Menuju tempat Tsa’labah berada. Ketika bertemu Tsa’labah mereka menyampaikan salam Nabi. Dan menjelaskan tugas yang diberikan kepada mereka.
     Tsa’labah berkata,” Apakah Nabi mengetahui dosaku?” “Aku tak tahu,”kata Umar bin Khattab. Tetapi, Nabi menyebut namamu dengan suara lirih. Kemudian mengutus kami dengan sembunyi. Untuk menjemputmu.”
      Tsa’labah berkata,”Wahai Umar, pertemukan aku dengan Nabi. Ketika Nabi sedang salat. Atau Bilal sedang ikamah.” Umar menjawab,”Baiklah.” Mereka bertiga kembali ke Madinah.
    Mereka langsung menuju masjid. Ketika Nabi sedang salat.  Begitu mendengar suara Nabi, Tsa’labah pingsan. Tsa’labah amat rindu mendengarkan suara Nabi. Dia sangat kangen berjumpa dengan Nabi. Tetapi, juga merasa ketakutan. Akan dimarahi Nabi. Karena perbuatan dosanya.
     Konflik perasaan begitu mendalam. Mencapai puncaknya. Ketika mendengar suara Nabi. Tsa’labah jatuh pingsan. Nabi menutup salatnya. Dengan mengucap salam. Nabi melihat Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi.
      Nabi diajak menjumpai Tsa’labah. Yang sedang pingsan. Nabi mengangkat   kepalanya. Di taruh di pangkuan beliau. Nabi berusaha menyadarkannya. Begitu tersadar. Nabi bersabda,”Wahai Tsa’labah, apa yang membuatmu lari dariku?” “Dosaku. Ya, Rasulullah,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Maukah kamu kuajarkan suatu bacaan. Yang bisa menghapus dosa dan kesalahan.” Tsa’labah mengiyakan. Nabi bersabda,”Ucapkan: Allahumma rabbana atina fiddunya hasanah, wafil ahirati hasanah, waqina adabannar.”  Ya Allah. Bahagiakan hidup kami di dunia dan di akhirat. Jauhkan kami dari siksa api neraka.
    Tsa’labah berkata,”Ya Rasulullah. Dosaku lebih besar daripada itu.” Nabi bersabda,” Tetapi, ampunan Allah lebih besar.” Tsa’labah diam saja. Dia  merasa dosanya amat besar. Nabi menyuruh Tsa’labah pulang.
     Tsa’labah jatuh sakit. Selama tiga hari dia berbaring. Di tempat tidurnya. Salman Al-Farisi melaporkan kesadaan Tsalabah kepada Nabi. Nabi mengunjunginya. Kepala Tsa’labah ditaruh di pangkuan beliau.
     Tsa’labah menarik kepalanya. Nabi bersabda,”Mengapa kamu menarik kepalamu dari pangkuanku. Ya, Tsa’labah?” “Karena  saya penuh dosa. Ya, Rasul,”jawab Tsa’labah. Nabi bersabda,” Apakah yang kamu rasakan?” “Saya merasakan banyak semut merayap di sekujur kulit dan tulangku. Ya Nabi,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Apakah yang kamu inginkan?” Ampunan Allah,” jawab Tsa’labah. Nabi memberikan pengajaran tentang hakikat dosa dan tobat. Tentang keluasan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun. Manusia dilarang berputus asa dari ramat Allah.
     Tsa’labah amat menyesal. Dia merasa telah berbuat dosa. Air matanya bercucuran. Wajahnya menampakkan penyesalan mendalam. Mendadak, dia teringat dosanya. Dia berteriak penuh ketakutan. Dia meninggal dunia.
     Nabi mengajak beberapa sahabat mengurus jenazahnya. Nabi ikut memandikan dan mengafaninya. Ikut menyalati memikul jenazahnya. Nabi berjalan sambil berjinjit. Berjalan dengan ujung jari kaki saja yang berjejak.
      Sahabat bertanya,” Wahai Nabi, saya melihat engkau berjalan berjinjit. Apakah yang terjadi?” Nabi bersabda,”Aku hampir tak  bisa meletakkan kakiku di tanah. Karena banyaknya malaikat yang ikut mengiringi jenazahnya.”
 Daftar Pustaka
1.    Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4.    Kisah Para Sahabat.
     






118. TSALABAH

TSA’LABAH, PENDOSA YANG BERTOBAT.
NABI MENGURUS JENAZAHNYA.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

       Tsa’labah bin Abdurrahman, seorang sahabat Nabi. Sekaligus pelayan Nabi. Pada suatu hari. Dia berjalan di depan sebuah rumah. Milik seorang wanita Ansar. Pintu rumah terbuka. Tsa’labah memandang ke dalamnya.
      Wanita Ansar sedang mandi. Tsa’labah terpesona beberapa saat. Melihat pemandangan tersebut. Beberapa waktu kemudian. Dia tersadar. Dia amat takut dan malu. Kalau Nabi mengetahui perbuatannya.
      Apalagi jika turun wahyu. Yang menjelaskan perbuatan maksiatnya. Tsa’labah  segera berlari menjauh. Bersembunyi di pegunungan. Di antara Mekah dan Madinah. Ada yang meriwayatkan. Tsa’labah terjerumus perzinaan.
      Nabi merasa kehilangan sahabatnya. Nabi mencari-cari pelayannya. Menanyakan kepada para sahabatnya. Tetapi, tak ada seorang pun yang mengetahui. Tsa’labah menghilang secara “misterius”.
      Waktu berjalan 40 hari. Nabi mendapatkan wahyu. Malaikat Jibril memberi tahu  Nabi. Tsa’labah bersembunyi di pegunungan. Terletak di antara Mekah dan Madinah. Nabi mengutus Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi untuk mencarinya. Membawa Tsa’labah pulang ke Madinah.
      Kedua sahabat mencari Tsa’labah. Keberadaan Tsa’labah sulit ditemukan. Pada malam hari. Mereka bertemu seorang pengembala. Yang bernama Dzufafa. Umar bin Khattab bertanya kepadanya. Dzufafa berkata,”Mungkin yang kalian maksudkan,  seorang pemuda yang melarikan diri dari neraka Jahanam?”
     “Bagaimana kau tahu, dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar bin Khattab. “Pada tengah malam. Dia keluar dari kelompok kami. Dia naik ke atas bukit. Dia menangis tersedu-sedu. Sambil meletakkan tangan di atas kepalanya,” jawab Dzufafah.
     Dia menangis histeris,”Ya Allah, ampunilah dosaku. Ya Allah. janganlah Engkau menelanjangiku di pengadilan akhirat nanti.” “Ya, benar. Orang itu yang kami cari” kata Umar dan Salman serentak. 
      Dzufafa mengantar kedua sahabat. Menuju tempat Tsa’labah berada. Ketika bertemu Tsa’labah mereka menyampaikan salam Nabi. Dan menjelaskan tugas yang diberikan kepada mereka.
     Tsa’labah berkata,” Apakah Nabi mengetahui dosaku?” “Aku tak tahu,”kata Umar bin Khattab. Tetapi, Nabi menyebut namamu dengan suara lirih. Kemudian mengutus kami dengan sembunyi. Untuk menjemputmu.”
      Tsa’labah berkata,”Wahai Umar, pertemukan aku dengan Nabi. Ketika Nabi sedang salat. Atau Bilal sedang ikamah.” Umar menjawab,”Baiklah.” Mereka bertiga kembali ke Madinah.
    Mereka langsung menuju masjid. Ketika Nabi sedang salat.  Begitu mendengar suara Nabi, Tsa’labah pingsan. Tsa’labah amat rindu mendengarkan suara Nabi. Dia sangat kangen berjumpa dengan Nabi. Tetapi, juga merasa ketakutan. Akan dimarahi Nabi. Karena perbuatan dosanya.
     Konflik perasaan begitu mendalam. Mencapai puncaknya. Ketika mendengar suara Nabi. Tsa’labah jatuh pingsan. Nabi menutup salatnya. Dengan mengucap salam. Nabi melihat Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi.
      Nabi diajak menjumpai Tsa’labah. Yang sedang pingsan. Nabi mengangkat   kepalanya. Di taruh di pangkuan beliau. Nabi berusaha menyadarkannya. Begitu tersadar. Nabi bersabda,”Wahai Tsa’labah, apa yang membuatmu lari dariku?” “Dosaku. Ya, Rasulullah,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Maukah kamu kuajarkan suatu bacaan. Yang bisa menghapus dosa dan kesalahan.” Tsa’labah mengiyakan. Nabi bersabda,”Ucapkan: Allahumma rabbana atina fiddunya hasanah, wafil ahirati hasanah, waqina adabannar.”  Ya Allah. Bahagiakan hidup kami di dunia dan di akhirat. Jauhkan kami dari siksa api neraka.
    Tsa’labah berkata,”Ya Rasulullah. Dosaku lebih besar daripada itu.” Nabi bersabda,” Tetapi, ampunan Allah lebih besar.” Tsa’labah diam saja. Dia  merasa dosanya amat besar. Nabi menyuruh Tsa’labah pulang.
     Tsa’labah jatuh sakit. Selama tiga hari dia berbaring. Di tempat tidurnya. Salman Al-Farisi melaporkan kesadaan Tsalabah kepada Nabi. Nabi mengunjunginya. Kepala Tsa’labah ditaruh di pangkuan beliau.
     Tsa’labah menarik kepalanya. Nabi bersabda,”Mengapa kamu menarik kepalamu dari pangkuanku. Ya, Tsa’labah?” “Karena  saya penuh dosa. Ya, Rasul,”jawab Tsa’labah. Nabi bersabda,” Apakah yang kamu rasakan?” “Saya merasakan banyak semut merayap di sekujur kulit dan tulangku. Ya Nabi,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Apakah yang kamu inginkan?” Ampunan Allah,” jawab Tsa’labah. Nabi memberikan pengajaran tentang hakikat dosa dan tobat. Tentang keluasan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun. Manusia dilarang berputus asa dari ramat Allah.
     Tsa’labah amat menyesal. Dia merasa telah berbuat dosa. Air matanya bercucuran. Wajahnya menampakkan penyesalan mendalam. Mendadak, dia teringat dosanya. Dia berteriak penuh ketakutan. Dia meninggal dunia.
     Nabi mengajak beberapa sahabat mengurus jenazahnya. Nabi ikut memandikan dan mengafaninya. Ikut menyalati memikul jenazahnya. Nabi berjalan sambil berjinjit. Berjalan dengan ujung jari kaki saja yang berjejak.
      Sahabat bertanya,” Wahai Nabi, saya melihat engkau berjalan berjinjit. Apakah yang terjadi?” Nabi bersabda,”Aku hampir tak  bisa meletakkan kakiku di tanah. Karena banyaknya malaikat yang ikut mengiringi jenazahnya.”
 Daftar Pustaka
1.    Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4.    Kisah Para Sahabat.
     






118. TSALABAH

TSA’LABAH, PENDOSA YANG BERTOBAT.
NABI MENGURUS JENAZAHNYA.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

       Tsa’labah bin Abdurrahman, seorang sahabat Nabi. Sekaligus pelayan Nabi. Pada suatu hari. Dia berjalan di depan sebuah rumah. Milik seorang wanita Ansar. Pintu rumah terbuka. Tsa’labah memandang ke dalamnya.
      Wanita Ansar sedang mandi. Tsa’labah terpesona beberapa saat. Melihat pemandangan tersebut. Beberapa waktu kemudian. Dia tersadar. Dia amat takut dan malu. Kalau Nabi mengetahui perbuatannya.
      Apalagi jika turun wahyu. Yang menjelaskan perbuatan maksiatnya. Tsa’labah  segera berlari menjauh. Bersembunyi di pegunungan. Di antara Mekah dan Madinah. Ada yang meriwayatkan. Tsa’labah terjerumus perzinaan.
      Nabi merasa kehilangan sahabatnya. Nabi mencari-cari pelayannya. Menanyakan kepada para sahabatnya. Tetapi, tak ada seorang pun yang mengetahui. Tsa’labah menghilang secara “misterius”.
      Waktu berjalan 40 hari. Nabi mendapatkan wahyu. Malaikat Jibril memberi tahu  Nabi. Tsa’labah bersembunyi di pegunungan. Terletak di antara Mekah dan Madinah. Nabi mengutus Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi untuk mencarinya. Membawa Tsa’labah pulang ke Madinah.
      Kedua sahabat mencari Tsa’labah. Keberadaan Tsa’labah sulit ditemukan. Pada malam hari. Mereka bertemu seorang pengembala. Yang bernama Dzufafa. Umar bin Khattab bertanya kepadanya. Dzufafa berkata,”Mungkin yang kalian maksudkan,  seorang pemuda yang melarikan diri dari neraka Jahanam?”
     “Bagaimana kau tahu, dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar bin Khattab. “Pada tengah malam. Dia keluar dari kelompok kami. Dia naik ke atas bukit. Dia menangis tersedu-sedu. Sambil meletakkan tangan di atas kepalanya,” jawab Dzufafah.
     Dia menangis histeris,”Ya Allah, ampunilah dosaku. Ya Allah. janganlah Engkau menelanjangiku di pengadilan akhirat nanti.” “Ya, benar. Orang itu yang kami cari” kata Umar dan Salman serentak. 
      Dzufafa mengantar kedua sahabat. Menuju tempat Tsa’labah berada. Ketika bertemu Tsa’labah mereka menyampaikan salam Nabi. Dan menjelaskan tugas yang diberikan kepada mereka.
     Tsa’labah berkata,” Apakah Nabi mengetahui dosaku?” “Aku tak tahu,”kata Umar bin Khattab. Tetapi, Nabi menyebut namamu dengan suara lirih. Kemudian mengutus kami dengan sembunyi. Untuk menjemputmu.”
      Tsa’labah berkata,”Wahai Umar, pertemukan aku dengan Nabi. Ketika Nabi sedang salat. Atau Bilal sedang ikamah.” Umar menjawab,”Baiklah.” Mereka bertiga kembali ke Madinah.
    Mereka langsung menuju masjid. Ketika Nabi sedang salat.  Begitu mendengar suara Nabi, Tsa’labah pingsan. Tsa’labah amat rindu mendengarkan suara Nabi. Dia sangat kangen berjumpa dengan Nabi. Tetapi, juga merasa ketakutan. Akan dimarahi Nabi. Karena perbuatan dosanya.
     Konflik perasaan begitu mendalam. Mencapai puncaknya. Ketika mendengar suara Nabi. Tsa’labah jatuh pingsan. Nabi menutup salatnya. Dengan mengucap salam. Nabi melihat Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi.
      Nabi diajak menjumpai Tsa’labah. Yang sedang pingsan. Nabi mengangkat   kepalanya. Di taruh di pangkuan beliau. Nabi berusaha menyadarkannya. Begitu tersadar. Nabi bersabda,”Wahai Tsa’labah, apa yang membuatmu lari dariku?” “Dosaku. Ya, Rasulullah,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Maukah kamu kuajarkan suatu bacaan. Yang bisa menghapus dosa dan kesalahan.” Tsa’labah mengiyakan. Nabi bersabda,”Ucapkan: Allahumma rabbana atina fiddunya hasanah, wafil ahirati hasanah, waqina adabannar.”  Ya Allah. Bahagiakan hidup kami di dunia dan di akhirat. Jauhkan kami dari siksa api neraka.
    Tsa’labah berkata,”Ya Rasulullah. Dosaku lebih besar daripada itu.” Nabi bersabda,” Tetapi, ampunan Allah lebih besar.” Tsa’labah diam saja. Dia  merasa dosanya amat besar. Nabi menyuruh Tsa’labah pulang.
     Tsa’labah jatuh sakit. Selama tiga hari dia berbaring. Di tempat tidurnya. Salman Al-Farisi melaporkan kesadaan Tsalabah kepada Nabi. Nabi mengunjunginya. Kepala Tsa’labah ditaruh di pangkuan beliau.
     Tsa’labah menarik kepalanya. Nabi bersabda,”Mengapa kamu menarik kepalamu dari pangkuanku. Ya, Tsa’labah?” “Karena  saya penuh dosa. Ya, Rasul,”jawab Tsa’labah. Nabi bersabda,” Apakah yang kamu rasakan?” “Saya merasakan banyak semut merayap di sekujur kulit dan tulangku. Ya Nabi,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Apakah yang kamu inginkan?” Ampunan Allah,” jawab Tsa’labah. Nabi memberikan pengajaran tentang hakikat dosa dan tobat. Tentang keluasan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun. Manusia dilarang berputus asa dari ramat Allah.
     Tsa’labah amat menyesal. Dia merasa telah berbuat dosa. Air matanya bercucuran. Wajahnya menampakkan penyesalan mendalam. Mendadak, dia teringat dosanya. Dia berteriak penuh ketakutan. Dia meninggal dunia.
     Nabi mengajak beberapa sahabat mengurus jenazahnya. Nabi ikut memandikan dan mengafaninya. Ikut menyalati memikul jenazahnya. Nabi berjalan sambil berjinjit. Berjalan dengan ujung jari kaki saja yang berjejak.
      Sahabat bertanya,” Wahai Nabi, saya melihat engkau berjalan berjinjit. Apakah yang terjadi?” Nabi bersabda,”Aku hampir tak  bisa meletakkan kakiku di tanah. Karena banyaknya malaikat yang ikut mengiringi jenazahnya.”
 Daftar Pustaka
1.    Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4.    Kisah Para Sahabat.
     






118.TSALABAH

TSA’LABAH, PENDOSA YANG BERTOBAT.
NABI MENGURUS JENAZAHNYA.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

       Tsa’labah bin Abdurrahman, seorang sahabat Nabi. Sekaligus pelayan Nabi. Pada suatu hari. Dia berjalan di depan sebuah rumah. Milik seorang wanita Ansar. Pintu rumah terbuka. Tsa’labah memandang ke dalamnya.
      Wanita Ansar sedang mandi. Tsa’labah terpesona beberapa saat. Melihat pemandangan tersebut. Beberapa waktu kemudian. Dia tersadar. Dia amat takut dan malu. Kalau Nabi mengetahui perbuatannya.
      Apalagi jika turun wahyu. Yang menjelaskan perbuatan maksiatnya. Tsa’labah  segera berlari menjauh. Bersembunyi di pegunungan. Di antara Mekah dan Madinah. Ada yang meriwayatkan. Tsa’labah terjerumus perzinaan.
      Nabi merasa kehilangan sahabatnya. Nabi mencari-cari pelayannya. Menanyakan kepada para sahabatnya. Tetapi, tak ada seorang pun yang mengetahui. Tsa’labah menghilang secara “misterius”.
      Waktu berjalan 40 hari. Nabi mendapatkan wahyu. Malaikat Jibril memberi tahu  Nabi. Tsa’labah bersembunyi di pegunungan. Terletak di antara Mekah dan Madinah. Nabi mengutus Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi untuk mencarinya. Membawa Tsa’labah pulang ke Madinah.
      Kedua sahabat mencari Tsa’labah. Keberadaan Tsa’labah sulit ditemukan. Pada malam hari. Mereka bertemu seorang pengembala. Yang bernama Dzufafa. Umar bin Khattab bertanya kepadanya. Dzufafa berkata,”Mungkin yang kalian maksudkan,  seorang pemuda yang melarikan diri dari neraka Jahanam?”
     “Bagaimana kau tahu, dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar bin Khattab. “Pada tengah malam. Dia keluar dari kelompok kami. Dia naik ke atas bukit. Dia menangis tersedu-sedu. Sambil meletakkan tangan di atas kepalanya,” jawab Dzufafah.
     Dia menangis histeris,”Ya Allah, ampunilah dosaku. Ya Allah. janganlah Engkau menelanjangiku di pengadilan akhirat nanti.” “Ya, benar. Orang itu yang kami cari” kata Umar dan Salman serentak. 
      Dzufafa mengantar kedua sahabat. Menuju tempat Tsa’labah berada. Ketika bertemu Tsa’labah mereka menyampaikan salam Nabi. Dan menjelaskan tugas yang diberikan kepada mereka.
     Tsa’labah berkata,” Apakah Nabi mengetahui dosaku?” “Aku tak tahu,”kata Umar bin Khattab. Tetapi, Nabi menyebut namamu dengan suara lirih. Kemudian mengutus kami dengan sembunyi. Untuk menjemputmu.”
      Tsa’labah berkata,”Wahai Umar, pertemukan aku dengan Nabi. Ketika Nabi sedang salat. Atau Bilal sedang ikamah.” Umar menjawab,”Baiklah.” Mereka bertiga kembali ke Madinah.
    Mereka langsung menuju masjid. Ketika Nabi sedang salat.  Begitu mendengar suara Nabi, Tsa’labah pingsan. Tsa’labah amat rindu mendengarkan suara Nabi. Dia sangat kangen berjumpa dengan Nabi. Tetapi, juga merasa ketakutan. Akan dimarahi Nabi. Karena perbuatan dosanya.
     Konflik perasaan begitu mendalam. Mencapai puncaknya. Ketika mendengar suara Nabi. Tsa’labah jatuh pingsan. Nabi menutup salatnya. Dengan mengucap salam. Nabi melihat Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi.
      Nabi diajak menjumpai Tsa’labah. Yang sedang pingsan. Nabi mengangkat   kepalanya. Di taruh di pangkuan beliau. Nabi berusaha menyadarkannya. Begitu tersadar. Nabi bersabda,”Wahai Tsa’labah, apa yang membuatmu lari dariku?” “Dosaku. Ya, Rasulullah,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Maukah kamu kuajarkan suatu bacaan. Yang bisa menghapus dosa dan kesalahan.” Tsa’labah mengiyakan. Nabi bersabda,”Ucapkan: Allahumma rabbana atina fiddunya hasanah, wafil ahirati hasanah, waqina adabannar.”  Ya Allah. Bahagiakan hidup kami di dunia dan di akhirat. Jauhkan kami dari siksa api neraka.
    Tsa’labah berkata,”Ya Rasulullah. Dosaku lebih besar daripada itu.” Nabi bersabda,” Tetapi, ampunan Allah lebih besar.” Tsa’labah diam saja. Dia  merasa dosanya amat besar. Nabi menyuruh Tsa’labah pulang.
     Tsa’labah jatuh sakit. Selama tiga hari dia berbaring. Di tempat tidurnya. Salman Al-Farisi melaporkan kesadaan Tsalabah kepada Nabi. Nabi mengunjunginya. Kepala Tsa’labah ditaruh di pangkuan beliau.
     Tsa’labah menarik kepalanya. Nabi bersabda,”Mengapa kamu menarik kepalamu dari pangkuanku. Ya, Tsa’labah?” “Karena  saya penuh dosa. Ya, Rasul,”jawab Tsa’labah. Nabi bersabda,” Apakah yang kamu rasakan?” “Saya merasakan banyak semut merayap di sekujur kulit dan tulangku. Ya Nabi,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Apakah yang kamu inginkan?” Ampunan Allah,” jawab Tsa’labah. Nabi memberikan pengajaran tentang hakikat dosa dan tobat. Tentang keluasan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun. Manusia dilarang berputus asa dari ramat Allah.
     Tsa’labah amat menyesal. Dia merasa telah berbuat dosa. Air matanya bercucuran. Wajahnya menampakkan penyesalan mendalam. Mendadak, dia teringat dosanya. Dia berteriak penuh ketakutan. Dia meninggal dunia.
     Nabi mengajak beberapa sahabat mengurus jenazahnya. Nabi ikut memandikan dan mengafaninya. Ikut menyalati memikul jenazahnya. Nabi berjalan sambil berjinjit. Berjalan dengan ujung jari kaki saja yang berjejak.
      Sahabat bertanya,” Wahai Nabi, saya melihat engkau berjalan berjinjit. Apakah yang terjadi?” Nabi bersabda,”Aku hampir tak  bisa meletakkan kakiku di tanah. Karena banyaknya malaikat yang ikut mengiringi jenazahnya.”
 Daftar Pustaka
1.    Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4.    Kisah Para Sahabat.
     






118. TSALABAH

TSA’LABAH, PENDOSA YANG BERTOBAT.
NABI MENGURUS JENAZAHNYA.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

       Tsa’labah bin Abdurrahman, seorang sahabat Nabi. Sekaligus pelayan Nabi. Pada suatu hari. Dia berjalan di depan sebuah rumah. Milik seorang wanita Ansar. Pintu rumah terbuka. Tsa’labah memandang ke dalamnya.
      Wanita Ansar sedang mandi. Tsa’labah terpesona beberapa saat. Melihat pemandangan tersebut. Beberapa waktu kemudian. Dia tersadar. Dia amat takut dan malu. Kalau Nabi mengetahui perbuatannya.
      Apalagi jika turun wahyu. Yang menjelaskan perbuatan maksiatnya. Tsa’labah  segera berlari menjauh. Bersembunyi di pegunungan. Di antara Mekah dan Madinah. Ada yang meriwayatkan. Tsa’labah terjerumus perzinaan.
      Nabi merasa kehilangan sahabatnya. Nabi mencari-cari pelayannya. Menanyakan kepada para sahabatnya. Tetapi, tak ada seorang pun yang mengetahui. Tsa’labah menghilang secara “misterius”.
      Waktu berjalan 40 hari. Nabi mendapatkan wahyu. Malaikat Jibril memberi tahu  Nabi. Tsa’labah bersembunyi di pegunungan. Terletak di antara Mekah dan Madinah. Nabi mengutus Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi untuk mencarinya. Membawa Tsa’labah pulang ke Madinah.
      Kedua sahabat mencari Tsa’labah. Keberadaan Tsa’labah sulit ditemukan. Pada malam hari. Mereka bertemu seorang pengembala. Yang bernama Dzufafa. Umar bin Khattab bertanya kepadanya. Dzufafa berkata,”Mungkin yang kalian maksudkan,  seorang pemuda yang melarikan diri dari neraka Jahanam?”
     “Bagaimana kau tahu, dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar bin Khattab. “Pada tengah malam. Dia keluar dari kelompok kami. Dia naik ke tasa bukit. Dia menangis tersedu-sedu. Sambil meletakkan tangan di atas kepalanya,” jawab Dzufafah.
     Dia menangis histeris,”Ya Allah, ampunilah dosaku. Ya Allah. janganlah Engkau menelanjangiku di pengadilan akhirat nanti.” “Ya, benar. Orang itu yang kami cari” kata Umar dan Salman serentak. 
      Dzufaha mengantar kedua sahabat. Menuju tempat Tsa’labah berada. Ketika bertemu Tsa’labah mereka menyampaikan salam Nabi. Dan menjelaskan tugas yang diberikan kepada mereka.
     Tsa’labah berkata,” Apakah Nabi mengetahui dosaku?” “Aku tak tahu,”kata Umar bin Khattab. Tetapi, Nabi menyebut namamu dengan suara lirih. Kemudian mengutus kami dengan sembunyi. Untuk menjemputmu.”
      Tsa’labah berkata,”Wahai Umar, pertemukan aku dengan Nabi. Ketika Nabi sedang salat. Atau Bilal sedang ikamah.” Umar menjawab,”Baiklah.” Mereka bertiga kembali ke Madinah.
    Mereka langsung menuju masjid. Ketika Nabi sedang salat.  Begitu mendengar suara Nabi, Tsa’labah pingsan. Tsa’labah amat rindu mendengarkan suara Nabi. Dia sangat kangen berjumpa dengan Nabi. Tetapi, juga merasa ketakutan. Akan dimarahi Nabi. Karena perbuatan dosanya.
     Konflik perasaan begitu mendalam. Mencapai puncaknya. Ketika mendengar suara Nabi. Tsa’labah jatuh pingsan. Nabi menutup salatnya. Dengan mengucap salam. Nabi melihat Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi.
      Nabi diajak menjumpai Tsalabah. Yang sedang pingsan. Nabi mengangkat   kepalanya. Di taruh di pangkuan beliau. Nabi berusaha menyadarkannya. Begitu tersadar. Nabi bersabda,”Wahai Tsa’labah, apa yang membuatmu lari dariku?” “Dosaku. Ya Rasulullah,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Maukah kamu kuajarkan suatu bacaan. Yang bisa menghapus dosa dan kesalahan.” Tsa’labah mengiyakan. Nabi bersabda,”Ucapkan: Allahumma rabbana atina fiddunya hasanah, wafil ahirati hasanah, waqina adabannar.”  Ya Allah. Bahagiakan hidup kami di dunia dan di akhirat. Jauhkan kami dari siksa api neraka.
    Tsa’labah berkata,”Ya Rasulullah. Dosaku lebih besar daripada itu.” Nabi bersabda,” Tetapi ampunan Allah lebih besar.” Tsa’labah diam saja. Dia  merasa dosanya amat besar. Nabi menyuruh Tsa’labah pulang.
     Tsa’labah jatuh sakit. Selama tiga hari dia berbaring. Di tempat tidurnya. Salman Al-Farisi melaporkan kesadaan Tsalabah kepada Nabi. Nabi mengunjunginya. Kepala Tsa’labah ditaruh di pangkuan beliau.
     Tsa’labah menarik kepalanya. Nabi bersabda,”Mengapa kamu menarik kepalamu dari pangkuanku. Ya, Tsa’labah?” “Karena  saya penuh doa. Ya, Rasul,”jawab Tsa’labah. Nabi bersabda,” Apakah yang kamu rasakan?” “Saya merasakan banyak semut merayap di sekujur kulit dan tulangku. Ya Nabi,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Apakah yang kamu inginkan?” Ampunan Allah,” jawab Tsa’labah. Nabi memberikan pengajaran tentang hakikat dosa dan tobat. Tentang keluasan rahmat Allah. Allah Maha Penagmpun. Mausia dilarang berptus asa dari ramat Allah.
     Tsa’labah amat menyesal. Dia merasa telah berbuat dosa. Air matanya bercucuran. Wajahnya menampakkan penyesalan mendalam. Mendadak, dia teringat dosanya. Dia berteriak penuh ketakutan. Dia meninggal dunia.
     Nabi mengajak beberapa sahabat mengurus jenazahnya. Nabi ikut memandikan dan mengafaninya. Ikut menyalati memikul jenazahnya. Nabi berjalan sambil berjinjit. Berjalan dengan ujung jari kaki saja yang berjejak.
      Sahabat bertanya,” Wahai Nabi, saya melihat engkau berjalan berjinjit. Apakah yang terjadi?” Nabi bersabda,”Aku hampir tak  bisa meletakkan kakiku di tanah. Karena banyaknya malaikat yang ikut mengiringi jenazahnya.”
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4. Kisah Para Sahabat.

118.TSALABAH

TSA’LABAH, PENDOSA YANG BERTOBAT.
NABI MENGURUS JENAZAHNYA.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

       Tsa’labah bin Abdurrahman, seorang sahabat Nabi. Sekaligus pelayan Nabi. Pada suatu hari. Dia berjalan di depan sebuah rumah. Milik seorang wanita Ansar. Pintu rumah terbuka. Tsa’labah memandang ke dalamnya.
      Wanita Ansar sedang mandi. Tsa’labah terpesona beberapa saat. Melihat pemandangan tersebut. Beberapa waktu kemudian. Dia tersadar. Dia amat takut dan malu. Kalau Nabi mengetahui perbuatannya.
      Apalagi jika turun wahyu. Yang menjelaskan perbuatan maksiatnya. Tsa’labah  segera berlari menjauh. Bersembunyi di pegunungan. Di antara Mekah dan Madinah. Ada yang meriwayatkan. Tsa’labah terjerumus perzinaan.
      Nabi merasa kehilangan sahabatnya. Nabi mencari-cari pelayannya. Menanyakan kepada para sahabatnya. Tetapi, tak ada seorang pun yang mengetahui. Tsa’labah menghilang secara “misterius”.
      Waktu berjalan 40 hari. Nabi mendapatkan wahyu. Malaikat Jibril memberi tahu  Nabi. Tsa’labah bersembunyi di pegunungan. Terletak di antara Mekah dan Madinah. Nabi mengutus Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi untuk mencarinya. Membawa Tsa’labah pulang ke Madinah.
      Kedua sahabat mencari Tsa’labah. Keberadaan Tsa’labah sulit ditemukan. Pada malam hari. Mereka bertemu seorang pengembala. Yang bernama Dzufafa. Umar bin Khattab bertanya kepadanya. Dzufafa berkata,”Mungkin yang kalian maksudkan,  seorang pemuda yang melarikan diri dari neraka Jahanam?”
     “Bagaimana kau tahu, dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar bin Khattab. “Pada tengah malam. Dia keluar dari kelompok kami. Dia naik ke tasa bukit. Dia menangis tersedu-sedu. Sambil meletakkan tangan di atas kepalanya,” jawab Dzufafah.
     Dia menangis histeris,”Ya Allah, ampunilah dosaku. Ya Allah. janganlah Engkau menelanjangiku di pengadilan akhirat nanti.” “Ya, benar. Orang itu yang kami cari” kata Umar dan Salman serentak. 
      Dzufaha mengantar kedua sahabat. Menuju tempat Tsa’labah berada. Ketika bertemu Tsa’labah mereka menyampaikan salam Nabi. Dan menjelaskan tugas yang diberikan kepada mereka.
     Tsa’labah berkata,” Apakah Nabi mengetahui dosaku?” “Aku tak tahu,”kata Umar bin Khattab. Tetapi, Nabi menyebut namamu dengan suara lirih. Kemudian mengutus kami dengan sembunyi. Untuk menjemputmu.”
      Tsa’labah berkata,”Wahai Umar, pertemukan aku dengan Nabi. Ketika Nabi sedang salat. Atau Bilal sedang ikamah.” Umar menjawab,”Baiklah.” Mereka bertiga kembali ke Madinah.
    Mereka langsung menuju masjid. Ketika Nabi sedang salat.  Begitu mendengar suara Nabi, Tsa’labah pingsan. Tsa’labah amat rindu mendengarkan suara Nabi. Dia sangat kangen berjumpa dengan Nabi. Tetapi, juga merasa ketakutan. Akan dimarahi Nabi. Karena perbuatan dosanya.
     Konflik perasaan begitu mendalam. Mencapai puncaknya. Ketika mendengar suara Nabi. Tsa’labah jatuh pingsan. Nabi menutup salatnya. Dengan mengucap salam. Nabi melihat Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi.
      Nabi diajak menjumpai Tsalabah. Yang sedang pingsan. Nabi mengangkat   kepalanya. Di taruh di pangkuan beliau. Nabi berusaha menyadarkannya. Begitu tersadar. Nabi bersabda,”Wahai Tsa’labah, apa yang membuatmu lari dariku?” “Dosaku. Ya Rasulullah,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Maukah kamu kuajarkan suatu bacaan. Yang bisa menghapus dosa dan kesalahan.” Tsa’labah mengiyakan. Nabi bersabda,”Ucapkan: Allahumma rabbana atina fiddunya hasanah, wafil ahirati hasanah, waqina adabannar.”  Ya Allah. Bahagiakan hidup kami di dunia dan di akhirat. Jauhkan kami dari siksa api neraka.
    Tsa’labah berkata,”Ya Rasulullah. Dosaku lebih besar daripada itu.” Nabi bersabda,” Tetapi ampunan Allah lebih besar.” Tsa’labah diam saja. Dia  merasa dosanya amat besar. Nabi menyuruh Tsa’labah pulang.
     Tsa’labah jatuh sakit. Selama tiga hari dia berbaring. Di tempat tidurnya. Salman Al-Farisi melaporkan kesadaan Tsalabah kepada Nabi. Nabi mengunjunginya. Kepala Tsa’labah ditaruh di pangkuan beliau.
     Tsa’labah menarik kepalanya. Nabi bersabda,”Mengapa kamu menarik kepalamu dari pangkuanku. Ya, Tsa’labah?” “Karena  saya penuh doa. Ya, Rasul,”jawab Tsa’labah. Nabi bersabda,” Apakah yang kamu rasakan?” “Saya merasakan banyak semut merayap di sekujur kulit dan tulangku. Ya Nabi,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Apakah yang kamu inginkan?” Ampunan Allah,” jawab Tsa’labah. Nabi memberikan pengajaran tentang hakikat dosa dan tobat. Tentang keluasan rahmat Allah. Allah Maha Penagmpun. Mausia dilarang berptus asa dari ramat Allah.
     Tsa’labah amat menyesal. Dia merasa telah berbuat dosa. Air matanya bercucuran. Wajahnya menampakkan penyesalan mendalam. Mendadak, dia teringat dosanya. Dia berteriak penuh ketakutan. Dia meninggal dunia.
     Nabi mengajak beberapa sahabat mengurus jenazahnya. Nabi ikut memandikan dan mengafaninya. Ikut menyalati memikul jenazahnya. Nabi berjalan sambil berjinjit. Berjalan dengan ujung jari kaki saja yang berjejak.
      Sahabat bertanya,” Wahai Nabi, saya melihat engkau berjalan berjinjit. Apakah yang terjadi?” Nabi bersabda,”Aku hampir tak  bisa meletakkan kakiku di tanah. Karena banyaknya malaikat yang ikut mengiringi jenazahnya.”
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4. Kisah Para Sahabat.

118. Tsalabah

TSA’LABAH, PENDOSA YANG BERTOBAT.
NABI MENGURUS JENAZAHNYA.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

       Tsa’labah bin Abdurrahman, seorang sahabat Nabi. Sekaligus pelayan Nabi. Pada suatu hari. Dia berjalan di depan sebuah rumah. Milik seorang wanita Ansar. Pintu rumah terbuka. Tsa’labah memandang ke dalamnya.
      Wanita Ansar sedang mandi. Tsa’labah terpesona beberapa saat. Melihat pemandangan tersebut. Beberapa waktu kemudian. Dia tersadar. Dia amat takut dan malu. Kalau Nabi mengetahui perbuatannya.
      Apalagi jika turun wahyu. Yang menjelaskan perbuatan maksiatnya. Tsa’labah  segera berlari menjauh. Bersembunyi di pegunungan. Di antara Mekah dan Madinah. Ada yang meriwayatkan. Tsa’labah terjerumus perzinaan.
      Nabi merasa kehilangan sahabatnya. Nabi mencari-cari pelayannya. Menanyakan kepada para sahabatnya. Tetapi, tak ada seorang pun yang mengetahui. Tsa’labah menghilang secara “misterius”.
      Waktu berjalan 40 hari. Nabi mendapatkan wahyu. Malaikat Jibril memberi tahu  Nabi. Tsa’labah bersembunyi di pegunungan. Terletak di antara Mekah dan Madinah. Nabi mengutus Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi untuk mencarinya. Membawa Tsa’labah pulang ke Madinah.
      Kedua sahabat mencari Tsa’labah. Keberadaan Tsa’labah sulit ditemukan. Pada malam hari. Mereka bertemu seorang pengembala. Yang bernama Dzufafa. Umar bin Khattab bertanya kepadanya. Dzufafa berkata,”Mungkin yang kalian maksudkan,  seorang pemuda yang melarikan diri dari neraka Jahanam?”
     “Bagaimana kau tahu, dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar bin Khattab. “Pada tengah malam. Dia keluar dari kelompok kami. Dia naik ke tasa bukit. Dia menangis tersedu-sedu. Sambil meletakkan tangan di atas kepalanya,” jawab Dzufafah.
     Dia menangis histeris,”Ya Allah, ampunilah dosaku. Ya Allah. janganlah Engkau menelanjangiku di pengadilan akhirat nanti.” “Ya, benar. Orang itu yang kami cari” kata Umar dan Salman serentak. 
      Dzufaha mengantar kedua sahabat. Menuju tempat Tsa’labah berada. Ketika bertemu Tsa’labah mereka menyampaikan salam Nabi. Dan menjelaskan tugas yang diberikan kepada mereka.
     Tsa’labah berkata,” Apakah Nabi mengetahui dosaku?” “Aku tak tahu,”kata Umar bin Khattab. Tetapi, Nabi menyebut namamu dengan suara lirih. Kemudian mengutus kami dengan sembunyi. Untuk menjemputmu.”
      Tsa’labah berkata,”Wahai Umar, pertemukan aku dengan Nabi. Ketika Nabi sedang salat. Atau Bilal sedang ikamah.” Umar menjawab,”Baiklah.” Mereka bertiga kembali ke Madinah.
    Mereka langsung menuju masjid. Ketika Nabi sedang salat.  Begitu mendengar suara Nabi, Tsa’labah pingsan. Tsa’labah amat rindu mendengarkan suara Nabi. Dia sangat kangen berjumpa dengan Nabi. Tetapi, juga merasa ketakutan. Akan dimarahi Nabi. Karena perbuatan dosanya.
     Konflik perasaan begitu mendalam. Mencapai puncaknya. Ketika mendengar suara Nabi. Tsa’labah jatuh pingsan. Nabi menutup salatnya. Dengan mengucap salam. Nabi melihat Umar bin Khattab dan Salman Al-Farisi.
      Nabi diajak menjumpai Tsalabah. Yang sedang pingsan. Nabi mengangkat   kepalanya. Di taruh di pangkuan beliau. Nabi berusaha menyadarkannya. Begitu tersadar. Nabi bersabda,”Wahai Tsa’labah, apa yang membuatmu lari dariku?” “Dosaku. Ya Rasulullah,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Maukah kamu kuajarkan suatu bacaan. Yang bisa menghapus dosa dan kesalahan.” Tsa’labah mengiyakan. Nabi bersabda,”Ucapkan: Allahumma rabbana atina fiddunya hasanah, wafil ahirati hasanah, waqina adabannar.”  Ya Allah. Bahagiakan hidup kami di dunia dan di akhirat. Jauhkan kami dari siksa api neraka.
    Tsa’labah berkata,”Ya Rasulullah. Dosaku lebih besar daripada itu.” Nabi bersabda,” Tetapi ampunan Allah lebih besar.” Tsa’labah diam saja. Dia  merasa dosanya amat besar. Nabi menyuruh Tsa’labah pulang.
     Tsa’labah jatuh sakit. Selama tiga hari dia berbaring. Di tempat tidurnya. Salman Al-Farisi melaporkan kesadaan Tsalabah kepada Nabi. Nabi mengunjunginya. Kepala Tsa’labah ditaruh di pangkuan beliau.
     Tsa’labah menarik kepalanya. Nabi bersabda,”Mengapa kamu menarik kepalamu dari pangkuanku. Ya, Tsa’labah?” “Karena  saya penuh doa. Ya, Rasul,”jawab Tsa’labah. Nabi bersabda,” Apakah yang kamu rasakan?” “Saya merasakan banyak semut merayap di sekujur kulit dan tulangku. Ya Nabi,” kata Tsa’labah.
      Nabi bersabda,”Apakah yang kamu inginkan?” Ampunan Allah,” jawab Tsa’labah. Nabi memberikan pengajaran tentang hakikat dosa dan tobat. Tentang keluasan rahmat Allah. Allah Maha Penagmpun. Mausia dilarang berptus asa dari ramat Allah.
     Tsa’labah amat menyesal. Dia merasa telah berbuat dosa. Air matanya bercucuran. Wajahnya menampakkan penyesalan mendalam. Mendadak, dia teringat dosanya. Dia berteriak penuh ketakutan. Dia meninggal dunia.
     Nabi mengajak beberapa sahabat mengurus jenazahnya. Nabi ikut memandikan dan mengafaninya. Ikut menyalati memikul jenazahnya. Nabi berjalan sambil berjinjit. Berjalan dengan ujung jari kaki saja yang berjejak.
      Sahabat bertanya,” Wahai Nabi, saya melihat engkau berjalan berjinjit. Apakah yang terjadi?” Nabi bersabda,”Aku hampir tak  bisa meletakkan kakiku di tanah. Karena banyaknya malaikat yang ikut mengiringi jenazahnya.”
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4. Kisah Para Sahabat.

Friday, June 30, 2017

122. PASUKAN ABRAHAH

PASUKAN GAJAH ABRAHAH,
GAGAL MENYERANG KAKBAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo
Description: D:\2. data Yusronhd\4. data foto yusron\foto jas yus\13445642_1390331417648815_6951956183603755336_n.jpg

      Abrahah, seorang Gubernur Najashi di Yaman. Wakil Raja Najashi di Habasyah, sekarang Etiopia di benua Afrika. Abrahah membangun gereja raksasa. Sebuah bangunan gereja terbesar di bumi. Yang belum pernah dibangun sebelumnya. Gubernur Abrahah mengirim surat kepada Raja Najashi. Menceritakan ambisi besarnya.
    Gubernur Abrarah “bermimpi besar”. Semua bangsa Arab datang. Mengunjungi gereja mereka. Untuk melaksanakan “ibadah haji”. Ingin “menandingi” Kakbah di Mekah.
     Bangsa Arab mengetahui pembangunan gereja besar. Kinani, seorang badui suku Bani Fukaim “cemburu”. Dia mendatangi gereja raksasa. Melaburi gereja dengan kotoran manusia. Gubernur Abrahah murka.  
    Gubernur Abrahah menyiapkan pasukan. Abrahah menunggang gajah putih besar. Diikuti 13 gajah lainnya. Membawa 60.000 pasukan perang. Bersenjata lengkap. Berangkat dari Yaman, menuju Mekah. Bertujuan menghancurkan Kakbah.
     Bangsa Arab ketakutan. Dzu Nafar, seorang raja “pribumi” Yaman. Mecoba melawan pasukan Abrahah. Pasukan Dzu Nafar kalah. Dia menjadi tawanan perang.  Beberapa suku mencoba melawan Abrahah. Tetapi, kalah dan menjadi tawanan.
     Pasukan Abrahah berhenti di luar Mekah. Mengirimkan pasukan berkuda masuk Mekah. Merampas harta kekayaan penduduk Mekah. Termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muththalib, kepala suku Quraisy.
      Abrahah mengirim utusan. Menemui pemimpin Mekah. Pasukan Abarah tidak ingin berperang. Hanya bertujuan menghancurkan Kakbah. Abdul Muththalib menghadap Gubernur Abrahah.
      Abdul Muththalib, kepala suku Quraisy.  Seorang yang tampan, dan berwibawa. Raja Abrahah menyambutnya. Raja Abrahah turun dari tahtanya. Duduk di permadani mendekati Abdul Muththalib.
     Raja Abrahah berdialog lewat penerjemah. Abdul Muththalib berkata, “Kami hanya ingin harta yang dirampas dikembalikan. Termasuk 200 ekor unta milik saya,”  Abrahah kecewa, “Pertama aku melihatmu, aku kagum kepadamu.  Namun, sekarang memudar. Kamu hanya ingin 200 ekor unta dikembalikan.”
     Raja Abrahah melanjutkan, “Kamu membiarkan Kakbah, yang merupakan simbol agamamu saya hancurkan?” Abdul Muththalib menjawab, “Saya pemilik unta. Sedangkan Kakbah ada pemiliknya yang akan melindungi.”  Abrahah berkata, “ Tak mungkin bisa berlindung dari serangan pasukanku.”
     Abdul Muththalib kembali ke Mekah. Semua harta kekayaan yang dirampas dikembalikan. Termasuk 200 ekor unta. Semua penduduk keluar rumah. Bersembunyi di atas gunung. Daerah Kakbah dan sekitarnya kosong.
     Pasukan Abrahah bersiap menghancurkan Kakbah. “Mahmud’, nama gajah putih besar. Yang ditunggangi Abrahah. Tidak mau berdiri. Gajah “Mahmud” tetap “menderum”. Gajah berlutut dengan kedua kaki depan, atau keempat kakinya.
    Gajah dipukul kepalanya dengan besi. Tetap tak mau berdiri. Perutnya dipukul dengan “mahjan”. Tetap tak bergeming. “Mahjan” berupa tongkat bengkok untuk menekan perut gajah.
      “Kepala suku” gajah diarahkan ke selatan. Balik ke arah Yaman. Gajah berdiri dan berlari. Gajah diarahkan ke Mekah. Dia menderum lagi.   Hal demikian, terjadi berkali-kali. Gajah “Mahmud” menolak berjalan ke arah Mekah.
    Muncul ribuan burung “walet” dan “jalak”. Membawa ribuan kerikil panas. Setiap burung membawa tiga butir kerikil. Sebesar kacang. Dua butir dijepit kaki, satu butir di “moncong” burung.
     Pasukan Abrahah kocar-kacir. Mereka berhamburan. Setiap orang yang terkena kerikil langsung tewas. Pasukan balik kembali ke Yaman.
     Gubernur Abrahah terkena kerikil. Dia dipandu pulang ke Yaman. Setiap bergerak, jari-jarinya berjatuhan. Abrahah mati, tubuhnya terbelah. Pasukan gajah Abrahah gagal menghancurkan Kakbah. Alhamdulillah
      Al-Quran surah Alfil. Yang berarti “gajah”. Surah ke-105 ayat 1-5. “Apakah kamu tidak memperhatikan. Bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Kakbah) sia-sia? Dia mengirimkan burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu. Berasal dari tanah yang terbakar. Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat.  
 Daftar Pustaka
1.    Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyurrahman. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3.    Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004
4.    Al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakaria. Himpunan Fadhilah Amal. Penerbit Ash-Shaff. Jogyakarta. 2000.
5.    Hisyam, Ibnu. Sirah Nabawiyah. Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah.