Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Friday, December 1, 2017

531. DEKAT

PUASA MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang puasa adalah cara mendekatkan diri kepada Allah?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Ketika Nabi Adam dan istrinya masih di surga, Allah memperingatkan kepada mereka berdua,”Jangan mendekati pohon ini, karena apabila engkau mendekatinya, maka kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim”.
      Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 19.

وَيَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

       “(Dan Allah berfirman),”Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim”.
      Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 22.

فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ

      “Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka,”Bukankah Aku telah melarangmu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu,”Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”
     Kalimat  dalam Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 19, “Janganlah kamu berdua mendekati POHON INI”, memberikan kesan “kedekatan” Allah kepada Adam dan istrinya ketika masih di surga, tetapi begitu mereka berdua makan “pohon terlarang”, maka Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 22 menceriterakan bahwa Allah “menyeru” (memberikan kesan berjauhan) keduanya dan berfirman,”Bukankah Aku telah melarangmu berdua untuk mendekati POHON ITU?
      Ayat berikutnya yaitu Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 22 memberikan isyarat bahwa posisi Nabi Adam dan istrinya “berjauhan” dengan Allah, sehingga Allah harus menyerunya, dalam arti memanggil dengan suara nyaring dan harus pula menunjuk ke pohon dengan kata “ITU”.
     Orang yang beragama adalah upaya mendekatkan diri sebagai manusia kembali (taqarrub) kepada Allah, betapapun sikap manusia selama hidup di dunia, maka pasti akan menghadap kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 186.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

      “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
     Al-Quran menegaskan di celah-celah penjelasan tentang puasa, bahwa apabila hamba Allah bertanya tentang Allah, maka (jawablah) bahwasanya Allah adalah dekat, yang memberikan isyarat bahwa berpuasa, dalam arti mengendalikan nafsu, adalah cara mendekatkan diri kepada Allah.
      Para ulama menjelaskan bahwa bawa nafsu bagaikan sebuah gunung yang tinggi dan besar yang merintangi perjalanan menuju Allah yang harus dilewati, dan terdapat  beberapa lereng yang curam, belukar yang lebat, banyak duri dan perampok yang menghambat para musafir.
     Di balik belukar terdapat iblis yang selalu merayu atau menakut-nakuti agar si musafir kembali dan tidak meneruskan perjalanannya, bertambah tinggi gunung yang didaki, semakin hebat rayuan dan ancaman.
      Sehingga diperlukan tekad dan semangat yang bulat dalam menghadapi segala macam gangguan dan godaan, karena apabila perjalanan tetap dilanjutkan, maka sebentar lagi akan nampak cahaya benderang.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

531. DEKAT

PUASA MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang puasa adalah cara mendekatkan diri kepada Allah?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Ketika Nabi Adam dan istrinya masih di surga, Allah memperingatkan kepada mereka berdua,”Jangan mendekati pohon ini, karena apabila engkau mendekatinya, maka kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim”.
      Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 19.

وَيَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

       “(Dan Allah berfirman),”Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim”.
      Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 22.

فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ

      “Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka,”Bukankah Aku telah melarangmu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu,”Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”
     Kalimat  dalam Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 19, “Janganlah kamu berdua mendekati POHON INI”, memberikan kesan “kedekatan” Allah kepada Adam dan istrinya ketika masih di surga, tetapi begitu mereka berdua makan “pohon terlarang”, maka Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 22 menceriterakan bahwa Allah “menyeru” (memberikan kesan berjauhan) keduanya dan berfirman,”Bukankah Aku telah melarangmu berdua untuk mendekati POHON ITU?
      Ayat berikutnya yaitu Al-Quran surah Al-A’raf, surah ke-7 ayat 22 memberikan isyarat bahwa posisi Nabi Adam dan istrinya “berjauhan” dengan Allah, sehingga Allah harus menyerunya, dalam arti memanggil dengan suara nyaring dan harus pula menunjuk ke pohon dengan kata “ITU”.
     Orang yang beragama adalah upaya mendekatkan diri sebagai manusia kembali (taqarrub) kepada Allah, betapapun sikap manusia selama hidup di dunia, maka pasti akan menghadap kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 186.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

      “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
     Al-Quran menegaskan di celah-celah penjelasan tentang puasa, bahwa apabila hamba Allah bertanya tentang Allah, maka (jawablah) bahwasanya Allah adalah dekat, yang memberikan isyarat bahwa berpuasa, dalam arti mengendalikan nafsu, adalah cara mendekatkan diri kepada Allah.
      Para ulama menjelaskan bahwa bawa nafsu bagaikan sebuah gunung yang tinggi dan besar yang merintangi perjalanan menuju Allah yang harus dilewati, dan terdapat  beberapa lereng yang curam, belukar yang lebat, banyak duri dan perampok yang menghambat para musafir.
     Di balik belukar terdapat iblis yang selalu merayu atau menakut-nakuti agar si musafir kembali dan tidak meneruskan perjalanannya, bertambah tinggi gunung yang didaki, semakin hebat rayuan dan ancaman.
      Sehingga diperlukan tekad dan semangat yang bulat dalam menghadapi segala macam gangguan dan godaan, karena apabila perjalanan tetap dilanjutkan, maka sebentar lagi akan nampak cahaya benderang.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NlKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online