Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tuesday, August 1, 2017

160. TAKWIL

DASAR PENAFSIRAN AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan tentang Dasar Penafsiran Al-Quran? Profesor Quraish Shihab menjelaskan tentang Dasar Penafsiran Al-Quran.
       Dalam penafsiran Al-Quran terdapat dua dasar penafsiran yang utama. Pertama,  “Asbabun Nuzul”, yaitu penyebab turunnya ayat Al-Quran. Al-Quran tidak turun dalam suatu masyarakat yang hampa budaya.
      Para ulama menyatakan dalam menafsirkan ayat Al-Quran harus memahami konteks “asbabun nuzulnya”. Harus memahami faktor penyebab turunnya ayat Al-Quran.  Hal-hal yang menyebabkan ayat Al-Quran diturunkan.
      Mayoritas ulama mengemukakan kaidah “patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya”. Ulama yang lain berkaidah  sebaliknya, yaitu “patokan dalam memahami ayat ialah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum”.
      Dalam “asbabun nuzul” pasti mencakup peristiwa, pelaku, dan waktu. Sayangnya, selama ini pandangan menyangkut “asbabun nuzul” dan pemahaman ayat sering kali hanya menekankan kepada “peristiwa” dengan melupakan “pelaku” dan “waktu”.
      Pengertian “asbabun nuzul” dapat diperluas  mencakup “kondisi sosial” pada masa turunnya Al-Quran. Pemahamannya dapat dikembangkan melalui “kias”. Kias merupakan alasan hukum berdasarkan perbandingan atau persamaan dengan hal yang telah terjadi.
      Kedua,  Takwil atau penyingkapan. Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran sering kali menimbulkan problem atau ganjalan dalam pemikiran  ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
      Zaman dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan “Allahu a’lam” artinya “Allah Yang Maha Mengetahui”. Tetapi, sekarang hal ini kurang memuaskan. 
     Para mufasir menggunakan takwil, tamsil, atau metafora. Takwil merupakan penyingkapan. Tamsil adalah perumpamaan dengan misal. Metafora ialah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dalam arti sebenarnya.
     Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan “takwil” yang memperluas makna yang tidak menyimpang.
      Para ulama mengemukakan dua syarat pokok dalam mentakwilan ayat Al-Quran.
      Pertama, makna yang dipilih harus sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh para ahli yang memiliki otoritas.
     Kedua, arti yang dipilih harus dikenal secara popular oleh masyarakat Arab pada zaman awal.
      Takwil sangat membantu dalam memahami dan “membumikan” Al-Quran dalam masyarakat modern dewasa ini dan masa mendatang.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

160. TAKWIL

DASAR PENAFSIRAN AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan tentang Dasar Penafsiran Al-Quran? Profesor Quraish Shihab menjelaskan tentang Dasar Penafsiran Al-Quran.
       Dalam penafsiran Al-Quran terdapat dua dasar penafsiran yang utama. Pertama,  “Asbabun Nuzul”, yaitu penyebab turunnya ayat Al-Quran. Al-Quran tidak turun dalam suatu masyarakat yang hampa budaya.
      Para ulama menyatakan dalam menafsirkan ayat Al-Quran harus memahami konteks “asbabun nuzulnya”. Harus memahami faktor penyebab turunnya ayat Al-Quran.  Hal-hal yang menyebabkan ayat Al-Quran diturunkan.
      Mayoritas ulama mengemukakan kaidah “patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya”. Ulama yang lain berkaidah  sebaliknya, yaitu “patokan dalam memahami ayat ialah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum”.
      Dalam “asbabun nuzul” pasti mencakup peristiwa, pelaku, dan waktu. Sayangnya, selama ini pandangan menyangkut “asbabun nuzul” dan pemahaman ayat sering kali hanya menekankan kepada “peristiwa” dengan melupakan “pelaku” dan “waktu”.
      Pengertian “asbabun nuzul” dapat diperluas  mencakup “kondisi sosial” pada masa turunnya Al-Quran. Pemahamannya dapat dikembangkan melalui “kias”. Kias merupakan alasan hukum berdasarkan perbandingan atau persamaan dengan hal yang telah terjadi.
      Kedua,  Takwil atau penyingkapan. Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran sering kali menimbulkan problem atau ganjalan dalam pemikiran  ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
      Zaman dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan “Allahu a’lam” artinya “Allah Yang Maha Mengetahui”. Tetapi, sekarang hal ini kurang memuaskan. 
     Para mufasir menggunakan takwil, tamsil, atau metafora. Takwil merupakan penyingkapan. Tamsil adalah perumpamaan dengan misal. Metafora ialah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dalam arti sebenarnya.
     Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan “takwil” yang memperluas makna yang tidak menyimpang.
      Para ulama mengemukakan dua syarat pokok dalam mentakwilan ayat Al-Quran.
      Pertama, makna yang dipilih harus sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh para ahli yang memiliki otoritas.
     Kedua, arti yang dipilih harus dikenal secara popular oleh masyarakat Arab pada zaman awal.
      Takwil sangat membantu dalam memahami dan “membumikan” Al-Quran dalam masyarakat modern dewasa ini dan masa mendatang.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

Monday, July 31, 2017

159. SEWIDAK

UMUR SEWIDAK, SEKARATE WIS CEDAK
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Orang yang sudah berumur 50 tahun, dalam bahasa Jawa dikatakan umurnya “Seket”. Kata “Seket” bisa bermakna “seneng kethuan”, artinya “senang memakai kopiah”. Kopiah adalah peci yang biasa dipakai orang Islam waktu salat. Di Turki penutup kepala semacam “kopiah” disebut Stambul Turki atau Terbus.
        Kopiah dikenakan pada bagian tubuh di atas leher, yaitu di kepala.  Kepala bagian terpenting tubuh manusia. Hal ini bisa diartikan orang yang mengenakan kopiah di kepalanya sudah merasa mencapai usia tertinggi dalam hidupnya. Sudah mendekati “babak final” dalam hidupnya.
      Orang yang berumur 60 tahun dalam bahasa Jawa dikatakan umurnya “Sewidak”. Kata “Sewidak” bisa bermakna “Sekarate wis cedak”. Artinya  “ajalnya sudah dekat”. Hampir mendekati “game over.” Kisah perjalanan hidupnya hampir “Tamat”.
     Para ulama memberikan saran kepada semua orang yang sudah berumur 50 tahun, apalagi yang sudah mencapai 60 tahun.
      Al-Quran surah Fathir, surah ke-35 ayat 37. “Mereka berteriak di dalam neraka itu, “Ya Tuhan kami, keluarkan kami niscaya kami akan mengerjakan amal saleh, berbeda dengan yang sudah kami kerjakan”. Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir, bagi orang yang mau berpikir dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakan (azab Kami) dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim”.
      Nabi bersabda,“Allah tidak menerima alasan apa pun, untuk orang yang dipanjangkan umurnya hingga 50 tahun.”
     Para ulama berkata,”Orang yg dipanjangkan umurnya oleh Allah sampai mencapai  50 tahun, tidak diterima lagi alasan atau dalih apa pun. Karena 50 tahun usia yang dekat dengan kematian. Merupakan kesempatan terakhir memperbanyak tobat, beribadah dengan khusyuk, dan bersiap kembali kepada Allah.”
     Para ulama berkata,”Berarti sudah 50 tahun kamu berjalan menuju Tuhanmu. Sekarang hampir sampai ke tujuan, kerjakan yang terbaik dalam sisa umurmu, semoga Allah akan mengampuni semua dosa yang lampau. Tetapi, jika engkau masih berbuat dosa di umur tuamu, kamu pasti dihukum berat akibat dosa masa lalu sampai sekarang.
     Gus Dur melontarkan humor,”Semua orang yang sudah berumur 63 tahun, sudah sah untuk mati.” Nabi Muhammad meninggal dalam usia 63 tahun. Oleh karena itu, mari kita anggap umur yang panjang adalah bonus dan kesempatan dari Allah untuk berbuat kebaikan.
     Pesan para ulama untuk semua orang yang berumur 50 tahun ke atas. Agar memperbanyak doa mengharap keridaan Allah semoga hidup kita berakhir  “husnulkhatimah”. Husnulkhatimah artinya akhir hayat yang baik dari seseorang.
    Selalu berusaha menambah ilmu agama, berdakwah, memperbanyak mengingat kematian, dan bersiap menghadapinya.
    Menyiapkan pesan dan wasiat serta melakukan pembagian harta kekayaan untuk semua anaknya.
    Memperbanyak menjalin hubungan silaturahmi dan merekatkan hubungan yang pernah renggang.
    Mohon maaf dan berbuat baik kepada semua orang yang pernah dizalimi.
   Meningkatkan amal kebaikan, terutama amal jariah yang dapat terus memberikan pahala setelah kita meninggal.
  Memaafkan kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan orang lain kepada kita, sebesar apa pun kesalahan itu.
    Selesaikan semua utang piutang yang masih ada dan jangan membuat utang baru meskipun untuk menolong orang lain.
     Jangan banyak bersenda gurau, bercanda, berkelakar, berolok-olok, berdebat, dan terjebak dalam hal yang tidak bermanfaat untuk akhirat.
    Jangan berlebihan dalam berhias, bersolek, dan berpakaian. Berpakaian sederhana saja.
     Jangan berlebihan makan, minum, dan berbelanja sesuatu yg kurang diperlukan untuk mendukung amal kebaikan.
    Jangan berteman dan berkumpul dengan orang yang tidak menambah iman, ilmu, dan amal kebaikan.
  Jangan banyak berjalan, melancong, dan berkeliling yang tidak bermanfaat untuk  mendekatkan diri kepada kehidupan akhirat.
    Jangan mudah gelisah, berkeluh kesah, kecewa, sebal, mendongkol, dan kesal dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
     Selalu bersyukur dan sabar dalam menghadapi masalah apa pun. Selalu berpikiran positif dalam menjalani kehidupan.
  Berhenti dari semua perbuatan maksiat, sekarang juga!
   Berhenti memandang yg sesuatu tidak halal dan tidak baik.
   Berhenti dari mengambil barang atau sesuatu yg bukan hak.
      Berhenti mengosumsi makanan yg tidak baik dan yg tidak halal.
Berhenti dari ghibah, membicarakan keburukan orang lain, bergunjing, menfitnah, dan menyakiti hati orang lain.
Berhenti dari mendengarkan sesuatu yang haram, dan yang tidak bermanfaat.
Selalu berbaik sangka kepada Allah atas segala yg terjadi dan menimpa kita.
  Selalu beristigfar, mohon ampun kepada Allah, bertobat atas semua kesalahan yang pernah dilakukan.
   Selalu berdoa untuk diri sendiri, keluarga, orang tua, dan semua orang beriman dalam setiap saat dan waktu.
     Semoga kita semua diberi kemampuan untuk menutup hidup ini dengan husnulkhatimah,  yaitu akhir kehidupan yang baik.
  Mudah-mudahan kita semua bisa mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Amin.