Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Sunday, September 24, 2017

297. ADIL

KEADILAN MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Keadilan Menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, tetapi Al-Quran juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, ketika berucap, menulis, atau bersikap batin.
      Al-Quran surah Al-An’am, surah ke-6 ayat 152 memerintahkan untuk berbuat adil meskipun terhadap kerabat sendiri.

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

      “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai dia dewasa, dan sempurnakan takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil meskipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhi janji Allah, yang demikian diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat  282 menerangkan hendaknya seorang penulis melakukan tugasnya dengan adil.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antaramu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikan dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antaramu, maka tidak ada dosa bagimu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikan apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling mempersulit. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
      Al-Quran surah Al-Hadid, surah ke-57 ayat 25 menjelaskan bahwa kehadiran para Rasul bertujuan untuk menegakkan sistem keadilan.

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
 
   “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
     Menurut Al-Quran bahwa kepemimpinan bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan.
    Al-Quran surah Ar-Rahman, surah ke-55 ayat 7 menegaskan bahwa alam semesta ini ditegakkan berdasarkan  keadilan.

وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ

      “Dan Allah telah menegakkan langit dan Dia menetapkan mizan (neraca (keseimbangan)”.
    Kesimpulannya, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, mulai dari tauhid, keyakinan mengenai hari kiamat, kenabian, kepemimpinan, individu, dan masyarakat.
    Keadilan adalah syarat utama untuk terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan jalan terdekat menuju kebahagiaan akhirat.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

297. ADIL

KEADILAN MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Keadilan Menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, tetapi Al-Quran juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, ketika berucap, menulis, atau bersikap batin.
      Al-Quran surah Al-An’am, surah ke-6 ayat 152 memerintahkan untuk berbuat adil meskipun terhadap kerabat sendiri.

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

      “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai dia dewasa, dan sempurnakan takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil meskipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhi janji Allah, yang demikian diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat  282 menerangkan hendaknya seorang penulis melakukan tugasnya dengan adil.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antaramu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikan dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antaramu, maka tidak ada dosa bagimu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikan apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling mempersulit. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
      Al-Quran surah Al-Hadid, surah ke-57 ayat 25 menjelaskan bahwa kehadiran para Rasul bertujuan untuk menegakkan sistem keadilan.

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
 
   “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
     Menurut Al-Quran bahwa kepemimpinan bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan.
    Al-Quran surah Ar-Rahman, surah ke-55 ayat 7 menegaskan bahwa alam semesta ini ditegakkan berdasarkan  keadilan.

وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ

      “Dan Allah telah menegakkan langit dan Dia menetapkan mizan (neraca (keseimbangan)”.
    Kesimpulannya, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, mulai dari tauhid, keyakinan mengenai hari kiamat, kenabian, kepemimpinan, individu, dan masyarakat.
    Keadilan adalah syarat utama untuk terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan jalan terdekat menuju kebahagiaan akhirat.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

297. ADIL

KEADILAN MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Keadilan Menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, tetapi Al-Quran juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, ketika berucap, menulis, atau bersikap batin.
      Al-Quran surah Al-An’am, surah ke-6 ayat 152 memerintahkan untuk berbuat adil meskipun terhadap kerabat sendiri.

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

      “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai dia dewasa, dan sempurnakan takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil meskipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhi janji Allah, yang demikian diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat  282 menerangkan hendaknya seorang penulis melakukan tugasnya dengan adil.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antaramu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikan dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antaramu, maka tidak ada dosa bagimu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikan apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling mempersulit. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
      Al-Quran surah Al-Hadid, surah ke-57 ayat 25 menjelaskan bahwa kehadiran para Rasul bertujuan untuk menegakkan sistem keadilan.

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
 
   “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
     Menurut Al-Quran bahwa kepemimpinan bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan.
    Al-Quran surah Ar-Rahman, surah ke-55 ayat 7 menegaskan bahwa alam semesta ini ditegakkan berdasarkan  keadilan.

وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ

      “Dan Allah telah menegakkan langit dan Dia menetapkan mizan (neraca (keseimbangan)”.
    Kesimpulannya, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, mulai dari tauhid, keyakinan mengenai hari kiamat, kenabian, kepemimpinan, individu, dan masyarakat.
    Keadilan adalah syarat utama untuk terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan jalan terdekat menuju kebahagiaan akhirat.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

297. ADIL

KEADILAN MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Keadilan Menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, tetapi Al-Quran juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, ketika berucap, menulis, atau bersikap batin.
      Al-Quran surah Al-An’am, surah ke-6 ayat 152 memerintahkan untuk berbuat adil meskipun terhadap kerabat sendiri.

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

      “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai dia dewasa, dan sempurnakan takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil meskipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhi janji Allah, yang demikian diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat  282 menerangkan hendaknya seorang penulis melakukan tugasnya dengan adil.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antaramu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikan dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antaramu, maka tidak ada dosa bagimu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikan apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling mempersulit. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
      Al-Quran surah Al-Hadid, surah ke-57 ayat 25 menjelaskan bahwa kehadiran para Rasul bertujuan untuk menegakkan sistem keadilan.

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
 
   “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
     Menurut Al-Quran bahwa kepemimpinan bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan.
    Al-Quran surah Ar-Rahman, surah ke-55 ayat 7 menegaskan bahwa alam semesta ini ditegakkan berdasarkan  keadilan.

وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ

      “Dan Allah telah menegakkan langit dan Dia menetapkan mizan (neraca (keseimbangan)”.
    Kesimpulannya, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, mulai dari tauhid, keyakinan mengenai hari kiamat, kenabian, kepemimpinan, individu, dan masyarakat.
    Keadilan adalah syarat utama untuk terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan jalan terdekat menuju kebahagiaan akhirat.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

296. YAKIN

PENGARUH KEYAKINAN ADANYA HARI KIAMAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Pengaruh Keyakinan Tentang Datangnya Hari Kiamat?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
       Al-Quran menghendaki agar keyakinan akan adanya hari kiamat bisa mengantarkan manusia untuk melakukan aktivitas dan kegiatan yang positif dalam hidupnya, meskipun aktivitas dan kegiatan itu tidak menghasilkan keuntungan materi dalam kehidupan dunianya.
      Al-Quran surah Al-Maun, surah ke-107 ayat 1-7.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ  فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ   وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ     الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ   وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

      “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?  Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberikan makanan kepada orang miskin. Maka kecelakaan bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
       Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat Al-Maun, surah ke-107  tersebut turun berkenaan dengan Abu Sufyan dan Abu Jahal, yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, tetapi dia tidak diberinya daging, malahan dihardik dan diusirnya.
      Surat Al-Maun, surah ke-107 dimulai dengan satu pertanyaan, “Tahukah kamu orang yang mendustakan “ad-din”? Kata “ad-din” dalam surat ini yang sangat populer, diartikan dengan “agama”, tetapi “ad-din” dapat berarti “pembalasan”.
     Maka  “yukadzdzibu biddin” bisa diartikan “menolak adanya hari kiamat” atau hari pembalasan atau hari akhir, karena apabila terdapat ayat Al-Quran yang menggandengkan kata “ad-din” dengan “yukadzdzibu”, maka konteknya adalah “pengingkaran terhadap hari kiamat”.
      Al-Quran surah Al-Infithar, surah ke-82 ayat 9.

كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ

      “Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan”.
      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 7.

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ

.     “Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan) itu?”
      Sikap orang yang enggan membantu anak yatim dan orang miskin karena mereka menduga bahwa bantuannya tidak menghasilkan apa-apa, hal ini  muncul pada hakikatnya karena mereka tidak percaya akan datangnya hari kiamat dan hari pembalasan.
     Orang yang beriman dan yakin akan datangnya hari kiamat dan hari pembalasan, pasti meyakini bahwa semua bantuan yang telah diberikan kepada anak yatim dan fakir miskin apabila tidak menghasilkan sesuatu di dunia sekarang  ini, maka pasti ganjaran atau balasan perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak.
     Orang yang meyakini terjadinya hari kiamat dan hari pembalasan, pasti percaya  bahwa Allah akan membalas semua amal baik seseorang, sekecil apa pun bentuknya.
     Orang yang hanya memandang segala sesuatu berlaku di dunia saja, dan tidak meyakini adanya hari kiamat, akan menimbulkan sikap penolakan dan pendustaan terhadap “ad-din”, dalam arti “agama” maupun “hari pembalasan”.
      Kata “ad-din” menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib, bukan sekadar yakin kepada Allah dan malaikat-Nya,  tetapi berkaitan dengan banyak hal, termasuk yakin dengan janji Allah yang akan melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberikan bantuan.
    Kepercayaan dan keyakinan terhadap semua janji Allah, akan melebihi keyakinannya menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan untung dan rugi menurut akalnya saja.
     Sehingga, meskipun akalnya membisikkan bahwa “sikap yang akan diambilnya akan merugikan dan tidak menguntungkan”, tetapi dorongan jiwanya yang percaya akan mengantarkan untuk melakukannya karena sejalan dengan keyakinannya.
     “Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri”.
      Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma’un, surah ke-107 ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang adanya hari akhir.
     Surat Al-Maun, surah ke-107 yang terdiri atas tujuh ayat pendek berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, yang terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial.
     Ajaran Islam sebagaimana tergambar dalam ayat Al-Quran di atas menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
      Hakikat pembenaran “ad-din” bukan hanya dengan ucapan dengan lidah, tetapi  perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap sesama manusia yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.
    Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat yang hanya dituturkan saja, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu).
      Para ahli berdiskusi yang menyita waktu dan energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja.
      Apa pun bentuk kebangkitan tersebut, apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja, yang pokok adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak kurang dari pengenalannya ketika dia hidup di dunia.
      Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu dan tempatnya, maka semuanya berada di luar tuntunan agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan kehangatan iman.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

296. YAKIN

PENGARUH KEYAKINAN ADANYA HARI KIAMAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Pengaruh Keyakinan Tentang Datangnya Hari Kiamat?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
       Al-Quran menghendaki agar keyakinan akan adanya hari kiamat bisa mengantarkan manusia untuk melakukan aktivitas dan kegiatan yang positif dalam hidupnya, meskipun aktivitas dan kegiatan itu tidak menghasilkan keuntungan materi dalam kehidupan dunianya.
      Al-Quran surah Al-Maun, surah ke-107 ayat 1-7.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ  فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ   وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ     الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ   وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

      “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?  Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberikan makanan kepada orang miskin. Maka kecelakaan bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
       Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat Al-Maun, surah ke-107  tersebut turun berkenaan dengan Abu Sufyan dan Abu Jahal, yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, tetapi dia tidak diberinya daging, malahan dihardik dan diusirnya.
      Surat Al-Maun, surah ke-107 dimulai dengan satu pertanyaan, “Tahukah kamu orang yang mendustakan “ad-din”? Kata “ad-din” dalam surat ini yang sangat populer, diartikan dengan “agama”, tetapi “ad-din” dapat berarti “pembalasan”.
     Maka  “yukadzdzibu biddin” bisa diartikan “menolak adanya hari kiamat” atau hari pembalasan atau hari akhir, karena apabila terdapat ayat Al-Quran yang menggandengkan kata “ad-din” dengan “yukadzdzibu”, maka konteknya adalah “pengingkaran terhadap hari kiamat”.
      Al-Quran surah Al-Infithar, surah ke-82 ayat 9.

كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ

      “Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan”.
      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 7.

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ

.     “Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan) itu?”
      Sikap orang yang enggan membantu anak yatim dan orang miskin karena mereka menduga bahwa bantuannya tidak menghasilkan apa-apa, hal ini  muncul pada hakikatnya karena mereka tidak percaya akan datangnya hari kiamat dan hari pembalasan.
     Orang yang beriman dan yakin akan datangnya hari kiamat dan hari pembalasan, pasti meyakini bahwa semua bantuan yang telah diberikan kepada anak yatim dan fakir miskin apabila tidak menghasilkan sesuatu di dunia sekarang  ini, maka pasti ganjaran atau balasan perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak.
     Orang yang meyakini terjadinya hari kiamat dan hari pembalasan, pasti percaya  bahwa Allah akan membalas semua amal baik seseorang, sekecil apa pun bentuknya.
     Orang yang hanya memandang segala sesuatu berlaku di dunia saja, dan tidak meyakini adanya hari kiamat, akan menimbulkan sikap penolakan dan pendustaan terhadap “ad-din”, dalam arti “agama” maupun “hari pembalasan”.
      Kata “ad-din” menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib, bukan sekadar yakin kepada Allah dan malaikat-Nya,  tetapi berkaitan dengan banyak hal, termasuk yakin dengan janji Allah yang akan melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberikan bantuan.
    Kepercayaan dan keyakinan terhadap semua janji Allah, akan melebihi keyakinannya menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan untung dan rugi menurut akalnya saja.
     Sehingga, meskipun akalnya membisikkan bahwa “sikap yang akan diambilnya akan merugikan dan tidak menguntungkan”, tetapi dorongan jiwanya yang percaya akan mengantarkan untuk melakukannya karena sejalan dengan keyakinannya.
     “Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri”.
      Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma’un, surah ke-107 ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang adanya hari akhir.
     Surat Al-Maun, surah ke-107 yang terdiri atas tujuh ayat pendek berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, yang terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial.
     Ajaran Islam sebagaimana tergambar dalam ayat Al-Quran di atas menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
      Hakikat pembenaran “ad-din” bukan hanya dengan ucapan dengan lidah, tetapi  perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap sesama manusia yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.
    Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat yang hanya dituturkan saja, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu).
      Para ahli berdiskusi yang menyita waktu dan energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja.
      Apa pun bentuk kebangkitan tersebut, apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja, yang pokok adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak kurang dari pengenalannya ketika dia hidup di dunia.
      Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu dan tempatnya, maka semuanya berada di luar tuntunan agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan kehangatan iman.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

296. YAKIN

PENGARUH KEYAKINAN ADANYA HARI KIAMAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Pengaruh Keyakinan Tentang Datangnya Hari Kiamat?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
       Al-Quran menghendaki agar keyakinan akan adanya hari kiamat bisa mengantarkan manusia untuk melakukan aktivitas dan kegiatan yang positif dalam hidupnya, meskipun aktivitas dan kegiatan itu tidak menghasilkan keuntungan materi dalam kehidupan dunianya.
      Al-Quran surah Al-Maun, surah ke-107 ayat 1-7.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ  فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ   وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ     الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ   وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

      “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?  Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberikan makanan kepada orang miskin. Maka kecelakaan bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
       Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat Al-Maun, surah ke-107  tersebut turun berkenaan dengan Abu Sufyan dan Abu Jahal, yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, tetapi dia tidak diberinya daging, malahan dihardik dan diusirnya.
      Surat Al-Maun, surah ke-107 dimulai dengan satu pertanyaan, “Tahukah kamu orang yang mendustakan “ad-din”? Kata “ad-din” dalam surat ini yang sangat populer, diartikan dengan “agama”, tetapi “ad-din” dapat berarti “pembalasan”.
     Maka  “yukadzdzibu biddin” bisa diartikan “menolak adanya hari kiamat” atau hari pembalasan atau hari akhir, karena apabila terdapat ayat Al-Quran yang menggandengkan kata “ad-din” dengan “yukadzdzibu”, maka konteknya adalah “pengingkaran terhadap hari kiamat”.
      Al-Quran surah Al-Infithar, surah ke-82 ayat 9.

كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ

      “Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan”.
      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 7.

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ

.     “Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan) itu?”
      Sikap orang yang enggan membantu anak yatim dan orang miskin karena mereka menduga bahwa bantuannya tidak menghasilkan apa-apa, hal ini  muncul pada hakikatnya karena mereka tidak percaya akan datangnya hari kiamat dan hari pembalasan.
     Orang yang beriman dan yakin akan datangnya hari kiamat dan hari pembalasan, pasti meyakini bahwa semua bantuan yang telah diberikan kepada anak yatim dan fakir miskin apabila tidak menghasilkan sesuatu di dunia sekarang  ini, maka pasti ganjaran atau balasan perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak.
     Orang yang meyakini terjadinya hari kiamat dan hari pembalasan, pasti percaya  bahwa Allah akan membalas semua amal baik seseorang, sekecil apa pun bentuknya.
     Orang yang hanya memandang segala sesuatu berlaku di dunia saja, dan tidak meyakini adanya hari kiamat, akan menimbulkan sikap penolakan dan pendustaan terhadap “ad-din”, dalam arti “agama” maupun “hari pembalasan”.
      Kata “ad-din” menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib, bukan sekadar yakin kepada Allah dan malaikat-Nya,  tetapi berkaitan dengan banyak hal, termasuk yakin dengan janji Allah yang akan melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberikan bantuan.
    Kepercayaan dan keyakinan terhadap semua janji Allah, akan melebihi keyakinannya menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan untung dan rugi menurut akalnya saja.
     Sehingga, meskipun akalnya membisikkan bahwa “sikap yang akan diambilnya akan merugikan dan tidak menguntungkan”, tetapi dorongan jiwanya yang percaya akan mengantarkan untuk melakukannya karena sejalan dengan keyakinannya.
     “Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri”.
      Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma’un, surah ke-107 ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang adanya hari akhir.
     Surat Al-Maun, surah ke-107 yang terdiri atas tujuh ayat pendek berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, yang terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial.
     Ajaran Islam sebagaimana tergambar dalam ayat Al-Quran di atas menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
      Hakikat pembenaran “ad-din” bukan hanya dengan ucapan dengan lidah, tetapi  perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap sesama manusia yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.
    Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat yang hanya dituturkan saja, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu).
      Para ahli berdiskusi yang menyita waktu dan energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja.
      Apa pun bentuk kebangkitan tersebut, apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja, yang pokok adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak kurang dari pengenalannya ketika dia hidup di dunia.
      Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu dan tempatnya, maka semuanya berada di luar tuntunan agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan kehangatan iman.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.