Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Wednesday, August 30, 2017

235. KERJA

HAK WANITA DALAM BEKERJA
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hak wanita dalam memilih pekerjaan menurut Islam?  Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
     Kalau kita kembali menelaah keterlibatan wanita dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan wanita aktif dalam berbagai aktivitas.
     Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam atau di luar rumahnya,  secara mandiri atau bersama orang lain, dalam lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaannya dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dan dapat menjaga agamanya, serta dapat  menghindari dampak negatif terhadap diri dan lingkungannya.
     Secara singkat, rumusan menyangkut pekerjaan wanita adalah “Wanita mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan dan wanita tersebut saling membutuhkan”.
     Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh wanita pada zaman Nabi beraneka ragam, bahkan wanita terlibat secara langsung dalam peperangan, dan saling membantu dengan kaum lelaki.
    Misalnya, Ummu Salamah, istri Nabi, Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lainnya tercatat sebagai tokoh wanita yang terlibat dalam peperangan.
     Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Sahih-nya, yang menginformasikan kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Wanita dalam Jihad, Bab Peperangan Wanita di Lautan, Bab Keterlibatan Wanita Merawat Korban, dan lainnya.
     Para wanita pada masa Nabi juga aktif  dalam berbagai bidang pekerjaan. Misalnya, ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias Shafiyah bin Huyay, istri Nabi Muhammad, dan ada wanita yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
     Dalam bidang perdagangan, Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi yang pertama,  tercatat sebagai seorang wanita pengusaha yang sangat sukses.
     Qilat Umi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang wanita yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk tentang bisnis jual-beli.
     Nabi bersabda kepada Qilat Umi, “Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tentukan lebih dahulu harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya”. Artinya jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu.
     Istri Nabi, Zainab binti Jahsy, aktif bekerja dengan menyamak kulit binatang, dan uang hasil usahanya itu, lalu disedekahkan kepada fakir miskin.
    Raithah, istri Abdullah ibn Masud, sahabat Nabi sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
     Syifa’, seorang wanita yang pandai menulis, diberi tugas oleh Khalifah Umar bin Khaththab  sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
     Demikian beberapa contoh yang terjadi pada masa Rasul dan para sahabat  menyangkut keikutsertaan wanita dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
     Nabi banyak memberikan perhatian dan pengarahan kepada para wanita agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan yang bermanfaat.
      Nabi bersabda,“Sebaik-baik ‘permainan’ untuk seorang wanita muslimah di dalam rumahnya adalah memintal dan menenun”.
     Aisyah, istri Nabi, pernah berkata, “Alat pemintal di tangan seorang wanita lebih baik daripada tombak di tangan seorang lelaki”.
     Tentu saja, tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi.
     Para ulama menyimpulkan bahwa wanita dapat melakukan pekerjaan apa pun selama dia memerlukan atau pekerjaannya yang membutuhkannya, asalkan norma agama dan susila tetap terjaga.
     Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, maka para wanita mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan tertinggi.
     Sebagian ulama menganggap jabatan kepala negara dan hakim yang tidak boleh diduduki oleh kaum wanita.
     Namun, perkembangan masyarakat dari zaman ke zaman pendukung larangan tersebut semakin berkurang, khususnya menyangkut kedudukan wanita sebagai hakim.
     Beberapa kitab hukum Islam menjelaskan bahwa “Setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain”.
      Atas dasar kaidah itu, maka sebagian ulama berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih dan perkembangan masyarakat, maka wanita dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.

235. KERJA

HAK WANITA DALAM BEKERJA
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hak wanita dalam memilih pekerjaan menurut Islam?  Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
     Kalau kita kembali menelaah keterlibatan wanita dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan wanita aktif dalam berbagai aktivitas.
     Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam atau di luar rumahnya,  secara mandiri atau bersama orang lain, dalam lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaannya dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dan dapat menjaga agamanya, serta dapat  menghindari dampak negatif terhadap diri dan lingkungannya.
     Secara singkat, rumusan menyangkut pekerjaan wanita adalah “Wanita mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan dan wanita tersebut saling membutuhkan”.
     Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh wanita pada zaman Nabi beraneka ragam, bahkan wanita terlibat secara langsung dalam peperangan, dan saling membantu dengan kaum lelaki.
    Misalnya, Ummu Salamah, istri Nabi, Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lainnya tercatat sebagai tokoh wanita yang terlibat dalam peperangan.
     Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Sahih-nya, yang menginformasikan kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Wanita dalam Jihad, Bab Peperangan Wanita di Lautan, Bab Keterlibatan Wanita Merawat Korban, dan lainnya.
     Para wanita pada masa Nabi juga aktif  dalam berbagai bidang pekerjaan. Misalnya, ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias Shafiyah bin Huyay, istri Nabi Muhammad, dan ada wanita yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
     Dalam bidang perdagangan, Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi yang pertama,  tercatat sebagai seorang wanita pengusaha yang sangat sukses.
     Qilat Umi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang wanita yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk tentang bisnis jual-beli.
     Nabi bersabda kepada Qilat Umi, “Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tentukan lebih dahulu harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya”. Artinya jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu.
     Istri Nabi, Zainab binti Jahsy, aktif bekerja dengan menyamak kulit binatang, dan uang hasil usahanya itu, lalu disedekahkan kepada fakir miskin.
    Raithah, istri Abdullah ibn Masud, sahabat Nabi sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
     Syifa’, seorang wanita yang pandai menulis, diberi tugas oleh Khalifah Umar bin Khaththab  sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
     Demikian beberapa contoh yang terjadi pada masa Rasul dan para sahabat  menyangkut keikutsertaan wanita dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
     Nabi banyak memberikan perhatian dan pengarahan kepada para wanita agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan yang bermanfaat.
      Nabi bersabda,“Sebaik-baik ‘permainan’ untuk seorang wanita muslimah di dalam rumahnya adalah memintal dan menenun”.
     Aisyah, istri Nabi, pernah berkata, “Alat pemintal di tangan seorang wanita lebih baik daripada tombak di tangan seorang lelaki”.
     Tentu saja, tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi.
     Para ulama menyimpulkan bahwa wanita dapat melakukan pekerjaan apa pun selama dia memerlukan atau pekerjaannya yang membutuhkannya, asalkan norma agama dan susila tetap terjaga.
     Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, maka para wanita mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan tertinggi.
     Sebagian ulama menganggap jabatan kepala negara dan hakim yang tidak boleh diduduki oleh kaum wanita.
     Namun, perkembangan masyarakat dari zaman ke zaman pendukung larangan tersebut semakin berkurang, khususnya menyangkut kedudukan wanita sebagai hakim.
     Beberapa kitab hukum Islam menjelaskan bahwa “Setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain”.
      Atas dasar kaidah itu, maka sebagian ulama berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih dan perkembangan masyarakat, maka wanita dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.

235. KERJA

HAK WANITA DALAM BEKERJA
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hak wanita dalam memilih pekerjaan menurut Islam?  Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
     Kalau kita kembali menelaah keterlibatan wanita dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan wanita aktif dalam berbagai aktivitas.
     Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam atau di luar rumahnya,  secara mandiri atau bersama orang lain, dalam lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaannya dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dan dapat menjaga agamanya, serta dapat  menghindari dampak negatif terhadap diri dan lingkungannya.
     Secara singkat, rumusan menyangkut pekerjaan wanita adalah “Wanita mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan dan wanita tersebut saling membutuhkan”.
     Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh wanita pada zaman Nabi beraneka ragam, bahkan wanita terlibat secara langsung dalam peperangan, dan saling membantu dengan kaum lelaki.
    Misalnya, Ummu Salamah, istri Nabi, Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lainnya tercatat sebagai tokoh wanita yang terlibat dalam peperangan.
     Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Sahih-nya, yang menginformasikan kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Wanita dalam Jihad, Bab Peperangan Wanita di Lautan, Bab Keterlibatan Wanita Merawat Korban, dan lainnya.
     Para wanita pada masa Nabi juga aktif  dalam berbagai bidang pekerjaan. Misalnya, ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias Shafiyah bin Huyay, istri Nabi Muhammad, dan ada wanita yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
     Dalam bidang perdagangan, Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi yang pertama,  tercatat sebagai seorang wanita pengusaha yang sangat sukses.
     Qilat Umi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang wanita yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk tentang bisnis jual-beli.
     Nabi bersabda kepada Qilat Umi, “Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tentukan lebih dahulu harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya”. Artinya jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu.
     Istri Nabi, Zainab binti Jahsy, aktif bekerja dengan menyamak kulit binatang, dan uang hasil usahanya itu, lalu disedekahkan kepada fakir miskin.
    Raithah, istri Abdullah ibn Masud, sahabat Nabi sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
     Syifa’, seorang wanita yang pandai menulis, diberi tugas oleh Khalifah Umar bin Khaththab  sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
     Demikian beberapa contoh yang terjadi pada masa Rasul dan para sahabat  menyangkut keikutsertaan wanita dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
     Nabi banyak memberikan perhatian dan pengarahan kepada para wanita agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan yang bermanfaat.
      Nabi bersabda,“Sebaik-baik ‘permainan’ untuk seorang wanita muslimah di dalam rumahnya adalah memintal dan menenun”.
     Aisyah, istri Nabi, pernah berkata, “Alat pemintal di tangan seorang wanita lebih baik daripada tombak di tangan seorang lelaki”.
     Tentu saja, tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi.
     Para ulama menyimpulkan bahwa wanita dapat melakukan pekerjaan apa pun selama dia memerlukan atau pekerjaannya yang membutuhkannya, asalkan norma agama dan susila tetap terjaga.
     Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, maka para wanita mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan tertinggi.
     Sebagian ulama menganggap jabatan kepala negara dan hakim yang tidak boleh diduduki oleh kaum wanita.
     Namun, perkembangan masyarakat dari zaman ke zaman pendukung larangan tersebut semakin berkurang, khususnya menyangkut kedudukan wanita sebagai hakim.
     Beberapa kitab hukum Islam menjelaskan bahwa “Setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain”.
      Atas dasar kaidah itu, maka sebagian ulama berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih dan perkembangan masyarakat, maka wanita dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.

Tuesday, August 29, 2017

234. POLITIK

HAK WANITA DALAM POLITIK
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hak wanita dalam politik menurut Islam?  Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Al-Quran berbicara tentang wanita dalam segala sisi kehidupan, ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada yang menguraikan keistimewaan tokoh wanita dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
     Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 32.
 •                        •        
     “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
     Secara umum ayat tersebut menunjukkan hak lelaki dan wanita atas anugerah Allah kepada manusia.
     Hak wanita dalam politik menurut pandangan ajaran Islam, para ulama menampilkan Al-Quran surah At-Taubah, surah ke-9 ayat 71.
              •         •      
      “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
      Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama lelaki dan wanita dalam berbagai bidang kehidupan dengan  kalimat menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.
     Kata “aulia”', dalam pengertiannya, mencakup “kerja sama”, “bantuan” dan “penguasaan”, sedangkan pengertian kalimat “menyuruh mengerjakan yang makruf” adalah mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan masyarakat termasuk memberikan saran, nasihat, dan kritik kepada penguasa.
     Diharapkan semua umat Islam yang lelaki dan wanita hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu melihat dan memberikan saran, nasihat, dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan.
    Nabi Muhammad bersabda,”Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan dan urusan umat Islam, maka dia tidak termasuk golongan mereka”.
     Kepentingan dan urusan umat Islam mencakup banyak sisi kehidupan yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk kehidupan politik.
      Al-Quran surah Asy-Syura, surah ke-42 ayat 38 mengajak umat Islam lelaki dan wanita untuk bermusyawarah.
             
      “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
      Ayat Al-Quran ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan wanita.
    Bermusyawarah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersama dituntut senantiasa mengadakan musyawarah.
      Dapat dikatakan bahwa setiap lelaki dan  wanita memiliki hak berpolitik, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan wanita untuk bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik.
    Data sejarah Islam menunjukkan bahwa kaum wanita terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan.
     Al-Quran juga menguraikan permintaan para wanita pada zaman Nabi untuk melakukan baiat berjanji setia kepada Nabi.
      Al-Quran surah Al-Mumtahanah, surah ke-60 ayat 12.
 •                                   •      
      “Hai Nabi, apabila datang kepadamu wanita yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berdusta yang mereka adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
      Para ulama menjadikan baiat para wanita sebagai bukti kebebasan wanita untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan dan hak mereka.
    Para wanita dibebaskan mempunyai pilihan sendiri yang mungkin berbeda dengan  kelompok lain dalam masyarakat, bahkan  mungkin berbeda dengan pandangan suami dan ayahnya sendiri.
     Sebagian ulama berpendapat bahwa lelaki adalah pemimpin wanita, seperti dalam Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34, maka ayat ini sebagai bukti bahwa wanita tidak boleh terlibat dalam masalah politik.
                                       •       
      “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, maka wanita yang saleh, adalah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga mereka. Wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehati mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukul mereka. kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Sebagian ulama berpendapat karena “kepemimpinan berada di tangan lelaki”, maka “hak berpolitik” wanita telah berada di tangan lelaki.
     Ulama yang lain berpendapat bahwa pandangan ini tidak sejalan dengan ayat yang dikutip di atas, dan tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34.
     Surah An-Nisa ayat 34 berbicara tentang kepemimpinan lelaki, yaitu seorang suami sebagai seorang pemimpin terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga.
    Kepemimpinan seorang suami tidak mencabut hak seorang istri dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya meskipun tanpa persetujuan suami.
    Sejarah menunjukkan banyak kaum wanita yang terlibat dalam politik praktis. Misalnya, Ummu Hani sikapnya dibenarkan oleh Nabi Muhammad ketika Ummu Hani memberikan jaminan keamanan kepada beberapa orang musyrik, padahal jaminan keamanan adalah salah satu aspek bidang politik.
     Bahkan Aisyah, istri Nabi Muhammad, memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara.
    Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, dan peperangan itu disebut Perang Unta.
     Keterlibatan Aisyah, istri Nabi, dengan beberapa sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan, menunjukkan bahwa Aisyah dan para pengikutnya menganut paham bahwa wanita boleh terlibat dalam politik praktis.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.

234. POLITIK

HAK WANITA DALAM POLITIK
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hak wanita dalam politik menurut Islam?  Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Al-Quran berbicara tentang wanita dalam segala sisi kehidupan, ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada yang menguraikan keistimewaan tokoh wanita dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
     Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 32.
 •                        •        
     “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
     Secara umum ayat tersebut menunjukkan hak lelaki dan wanita atas anugerah Allah kepada manusia.
     Hak wanita dalam politik menurut pandangan ajaran Islam, para ulama menampilkan Al-Quran surah At-Taubah, surah ke-9 ayat 71.
              •         •      
      “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
      Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama lelaki dan wanita dalam berbagai bidang kehidupan dengan  kalimat menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.
     Kata “aulia”', dalam pengertiannya, mencakup “kerja sama”, “bantuan” dan “penguasaan”, sedangkan pengertian kalimat “menyuruh mengerjakan yang makruf” adalah mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan masyarakat termasuk memberikan saran, nasihat, dan kritik kepada penguasa.
     Diharapkan semua umat Islam yang lelaki dan wanita hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu melihat dan memberikan saran, nasihat, dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan.
    Nabi Muhammad bersabda,”Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan dan urusan umat Islam, maka dia tidak termasuk golongan mereka”.
     Kepentingan dan urusan umat Islam mencakup banyak sisi kehidupan yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk kehidupan politik.
      Al-Quran surah Asy-Syura, surah ke-42 ayat 38 mengajak umat Islam lelaki dan wanita untuk bermusyawarah.
             
      “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
      Ayat Al-Quran ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan wanita.
    Bermusyawarah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersama dituntut senantiasa mengadakan musyawarah.
      Dapat dikatakan bahwa setiap lelaki dan  wanita memiliki hak berpolitik, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan wanita untuk bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik.
    Data sejarah Islam menunjukkan bahwa kaum wanita terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan.
     Al-Quran juga menguraikan permintaan para wanita pada zaman Nabi untuk melakukan baiat berjanji setia kepada Nabi.
      Al-Quran surah Al-Mumtahanah, surah ke-60 ayat 12.
 •                                   •      
      “Hai Nabi, apabila datang kepadamu wanita yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berdusta yang mereka adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
      Para ulama menjadikan baiat para wanita sebagai bukti kebebasan wanita untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan dan hak mereka.
    Para wanita dibebaskan mempunyai pilihan sendiri yang mungkin berbeda dengan  kelompok lain dalam masyarakat, bahkan  mungkin berbeda dengan pandangan suami dan ayahnya sendiri.
     Sebagian ulama berpendapat bahwa lelaki adalah pemimpin wanita, seperti dalam Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34, maka ayat ini sebagai bukti bahwa wanita tidak boleh terlibat dalam masalah politik.
                                       •       
      “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, maka wanita yang saleh, adalah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga mereka. Wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehati mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukul mereka. kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Sebagian ulama berpendapat karena “kepemimpinan berada di tangan lelaki”, maka “hak berpolitik” wanita telah berada di tangan lelaki.
     Ulama yang lain berpendapat bahwa pandangan ini tidak sejalan dengan ayat yang dikutip di atas, dan tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34.
     Surah An-Nisa ayat 34 berbicara tentang kepemimpinan lelaki, yaitu seorang suami sebagai seorang pemimpin terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga.
    Kepemimpinan seorang suami tidak mencabut hak seorang istri dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya meskipun tanpa persetujuan suami.
    Sejarah menunjukkan banyak kaum wanita yang terlibat dalam politik praktis. Misalnya, Ummu Hani sikapnya dibenarkan oleh Nabi Muhammad ketika Ummu Hani memberikan jaminan keamanan kepada beberapa orang musyrik, padahal jaminan keamanan adalah salah satu aspek bidang politik.
     Bahkan Aisyah, istri Nabi Muhammad, memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara.
    Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, dan peperangan itu disebut Perang Unta.
     Keterlibatan Aisyah, istri Nabi, dengan beberapa sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan, menunjukkan bahwa Aisyah dan para pengikutnya menganut paham bahwa wanita boleh terlibat dalam politik praktis.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.

234. POLITIK

HAK WANITA DALAM POLITIK
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hak wanita dalam politik menurut Islam?  Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Al-Quran berbicara tentang wanita dalam segala sisi kehidupan, ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada yang menguraikan keistimewaan tokoh wanita dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
     Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 32.
 •                        •        
     “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
     Secara umum ayat tersebut menunjukkan hak lelaki dan wanita atas anugerah Allah kepada manusia.
     Hak wanita dalam politik menurut pandangan ajaran Islam, para ulama menampilkan Al-Quran surah At-Taubah, surah ke-9 ayat 71.
              •         •      
      “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
      Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama lelaki dan wanita dalam berbagai bidang kehidupan dengan  kalimat menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.
     Kata “aulia”', dalam pengertiannya, mencakup “kerja sama”, “bantuan” dan “penguasaan”, sedangkan pengertian kalimat “menyuruh mengerjakan yang makruf” adalah mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan masyarakat termasuk memberikan saran, nasihat, dan kritik kepada penguasa.
     Diharapkan semua umat Islam yang lelaki dan wanita hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu melihat dan memberikan saran, nasihat, dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan.
    Nabi Muhammad bersabda,”Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan dan urusan umat Islam, maka dia tidak termasuk golongan mereka”.
     Kepentingan dan urusan umat Islam mencakup banyak sisi kehidupan yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk kehidupan politik.
      Al-Quran surah Asy-Syura, surah ke-42 ayat 38 mengajak umat Islam lelaki dan wanita untuk bermusyawarah.
             
      “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
      Ayat Al-Quran ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan wanita.
    Bermusyawarah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersama dituntut senantiasa mengadakan musyawarah.
      Dapat dikatakan bahwa setiap lelaki dan  wanita memiliki hak berpolitik, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan wanita untuk bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik.
    Data sejarah Islam menunjukkan bahwa kaum wanita terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan.
     Al-Quran juga menguraikan permintaan para wanita pada zaman Nabi untuk melakukan baiat berjanji setia kepada Nabi.
      Al-Quran surah Al-Mumtahanah, surah ke-60 ayat 12.
 •                                   •      
      “Hai Nabi, apabila datang kepadamu wanita yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berdusta yang mereka adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
      Para ulama menjadikan baiat para wanita sebagai bukti kebebasan wanita untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan dan hak mereka.
    Para wanita dibebaskan mempunyai pilihan sendiri yang mungkin berbeda dengan  kelompok lain dalam masyarakat, bahkan  mungkin berbeda dengan pandangan suami dan ayahnya sendiri.
     Sebagian ulama berpendapat bahwa lelaki adalah pemimpin wanita, seperti dalam Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34, maka ayat ini sebagai bukti bahwa wanita tidak boleh terlibat dalam masalah politik.
                                       •       
      “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, maka wanita yang saleh, adalah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga mereka. Wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehati mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukul mereka. kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Sebagian ulama berpendapat karena “kepemimpinan berada di tangan lelaki”, maka “hak berpolitik” wanita telah berada di tangan lelaki.
     Ulama yang lain berpendapat bahwa pandangan ini tidak sejalan dengan ayat yang dikutip di atas, dan tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34.
     Surah An-Nisa ayat 34 berbicara tentang kepemimpinan lelaki, yaitu seorang suami sebagai seorang pemimpin terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga.
    Kepemimpinan seorang suami tidak mencabut hak seorang istri dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya meskipun tanpa persetujuan suami.
    Sejarah menunjukkan banyak kaum wanita yang terlibat dalam politik praktis. Misalnya, Ummu Hani sikapnya dibenarkan oleh Nabi Muhammad ketika Ummu Hani memberikan jaminan keamanan kepada beberapa orang musyrik, padahal jaminan keamanan adalah salah satu aspek bidang politik.
     Bahkan Aisyah, istri Nabi Muhammad, memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara.
    Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, dan peperangan itu disebut Perang Unta.
     Keterlibatan Aisyah, istri Nabi, dengan beberapa sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan, menunjukkan bahwa Aisyah dan para pengikutnya menganut paham bahwa wanita boleh terlibat dalam politik praktis.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.

234. POLITIK

HAK WANITA DALAM POLITIK
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hak wanita dalam politik menurut Islam?  Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Al-Quran berbicara tentang wanita dalam segala sisi kehidupan, ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada yang menguraikan keistimewaan tokoh wanita dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
     Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 32.
 •                        •        
     “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
     Secara umum ayat tersebut menunjukkan hak lelaki dan wanita atas anugerah Allah kepada manusia.
     Hak wanita dalam politik menurut pandangan ajaran Islam, para ulama menampilkan Al-Quran surah At-Taubah, surah ke-9 ayat 71.
              •         •      
      “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
      Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama lelaki dan wanita dalam berbagai bidang kehidupan dengan  kalimat menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.
     Kata “aulia”', dalam pengertiannya, mencakup “kerja sama”, “bantuan” dan “penguasaan”, sedangkan pengertian kalimat “menyuruh mengerjakan yang makruf” adalah mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan masyarakat termasuk memberikan saran, nasihat, dan kritik kepada penguasa.
     Diharapkan semua umat Islam yang lelaki dan wanita hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu melihat dan memberikan saran, nasihat, dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan.
    Nabi Muhammad bersabda,”Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan dan urusan umat Islam, maka dia tidak termasuk golongan mereka”.
     Kepentingan dan urusan umat Islam mencakup banyak sisi kehidupan yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk kehidupan politik.
      Al-Quran surah Asy-Syura, surah ke-42 ayat 38 mengajak umat Islam lelaki dan wanita untuk bermusyawarah.
             
      “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
      Ayat Al-Quran ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan wanita.
    Bermusyawarah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersama dituntut senantiasa mengadakan musyawarah.
      Dapat dikatakan bahwa setiap lelaki dan  wanita memiliki hak berpolitik, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan wanita untuk bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik.
    Data sejarah Islam menunjukkan bahwa kaum wanita terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan.
     Al-Quran juga menguraikan permintaan para wanita pada zaman Nabi untuk melakukan baiat berjanji setia kepada Nabi.
      Al-Quran surah Al-Mumtahanah, surah ke-60 ayat 12.
 •                                   •      
      “Hai Nabi, apabila datang kepadamu wanita yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berdusta yang mereka adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
      Para ulama menjadikan baiat para wanita sebagai bukti kebebasan wanita untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan dan hak mereka.
    Para wanita dibebaskan mempunyai pilihan sendiri yang mungkin berbeda dengan  kelompok lain dalam masyarakat, bahkan  mungkin berbeda dengan pandangan suami dan ayahnya sendiri.
     Sebagian ulama berpendapat bahwa lelaki adalah pemimpin wanita, seperti dalam Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34, maka ayat ini sebagai bukti bahwa wanita tidak boleh terlibat dalam masalah politik.
                                       •       
      “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, maka wanita yang saleh, adalah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga mereka. Wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehati mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukul mereka. kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Sebagian ulama berpendapat karena “kepemimpinan berada di tangan lelaki”, maka “hak berpolitik” wanita telah berada di tangan lelaki.
     Ulama yang lain berpendapat bahwa pandangan ini tidak sejalan dengan ayat yang dikutip di atas, dan tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34.
     Surah An-Nisa ayat 34 berbicara tentang kepemimpinan lelaki, yaitu seorang suami sebagai seorang pemimpin terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga.
    Kepemimpinan seorang suami tidak mencabut hak seorang istri dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya meskipun tanpa persetujuan suami.
    Sejarah menunjukkan banyak kaum wanita yang terlibat dalam politik praktis. Misalnya, Ummu Hani sikapnya dibenarkan oleh Nabi Muhammad ketika Ummu Hani memberikan jaminan keamanan kepada beberapa orang musyrik, padahal jaminan keamanan adalah salah satu aspek bidang politik.
     Bahkan Aisyah, istri Nabi Muhammad, memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara.
    Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, dan peperangan itu disebut Perang Unta.
     Keterlibatan Aisyah, istri Nabi, dengan beberapa sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan, menunjukkan bahwa Aisyah dan para pengikutnya menganut paham bahwa wanita boleh terlibat dalam politik praktis.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.

234. POLITIK

HAK WANITA DALAM POLITIK
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hak wanita dalam politik menurut Islam?  Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Al-Quran berbicara tentang wanita dalam segala sisi kehidupan, ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada yang menguraikan keistimewaan tokoh wanita dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
     Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 32.
 •                        •        
     “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
     Secara umum ayat tersebut menunjukkan hak lelaki dan wanita atas anugerah Allah kepada manusia.
     Hak wanita dalam politik menurut pandangan ajaran Islam, para ulama menampilkan Al-Quran surah At-Taubah, surah ke-9 ayat 71.
              •         •      
      “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
      Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama lelaki dan wanita dalam berbagai bidang kehidupan dengan  kalimat menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.
     Kata “aulia”', dalam pengertiannya, mencakup “kerja sama”, “bantuan” dan “penguasaan”, sedangkan pengertian kalimat “menyuruh mengerjakan yang makruf” adalah mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan masyarakat termasuk memberikan saran, nasihat, dan kritik kepada penguasa.
     Diharapkan semua umat Islam yang lelaki dan wanita hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu melihat dan memberikan saran, nasihat, dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan.
    Nabi Muhammad bersabda,”Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan dan urusan umat Islam, maka dia tidak termasuk golongan mereka”.
     Kepentingan dan urusan umat Islam mencakup banyak sisi kehidupan yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk kehidupan politik.
      Al-Quran surah Asy-Syura, surah ke-42 ayat 38 mengajak umat Islam lelaki dan wanita untuk bermusyawarah.
             
      “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
      Ayat Al-Quran ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan wanita.
    Bermusyawarah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersama dituntut senantiasa mengadakan musyawarah.
      Dapat dikatakan bahwa setiap lelaki dan  wanita memiliki hak berpolitik, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan wanita untuk bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik.
    Data sejarah Islam menunjukkan bahwa kaum wanita terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan.
     Al-Quran juga menguraikan permintaan para wanita pada zaman Nabi untuk melakukan baiat berjanji setia kepada Nabi.
      Al-Quran surah Al-Mumtahanah, surah ke-60 ayat 12.
 •                                   •      
      “Hai Nabi, apabila datang kepadamu wanita yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berdusta yang mereka adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
      Para ulama menjadikan baiat para wanita sebagai bukti kebebasan wanita untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan dan hak mereka.
    Para wanita dibebaskan mempunyai pilihan sendiri yang mungkin berbeda dengan  kelompok lain dalam masyarakat, bahkan  mungkin berbeda dengan pandangan suami dan ayahnya sendiri.
     Sebagian ulama berpendapat bahwa lelaki adalah pemimpin wanita, seperti dalam Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34, maka ayat ini sebagai bukti bahwa wanita tidak boleh terlibat dalam masalah politik.
                                       •       
      “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, maka wanita yang saleh, adalah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga mereka. Wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehati mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukul mereka. kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Sebagian ulama berpendapat karena “kepemimpinan berada di tangan lelaki”, maka “hak berpolitik” wanita telah berada di tangan lelaki.
     Ulama yang lain berpendapat bahwa pandangan ini tidak sejalan dengan ayat yang dikutip di atas, dan tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 34.
     Surah An-Nisa ayat 34 berbicara tentang kepemimpinan lelaki, yaitu seorang suami sebagai seorang pemimpin terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga.
    Kepemimpinan seorang suami tidak mencabut hak seorang istri dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya meskipun tanpa persetujuan suami.
    Sejarah menunjukkan banyak kaum wanita yang terlibat dalam politik praktis. Misalnya, Ummu Hani sikapnya dibenarkan oleh Nabi Muhammad ketika Ummu Hani memberikan jaminan keamanan kepada beberapa orang musyrik, padahal jaminan keamanan adalah salah satu aspek bidang politik.
     Bahkan Aisyah, istri Nabi Muhammad, memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara.
    Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, dan peperangan itu disebut Perang Unta.
     Keterlibatan Aisyah, istri Nabi, dengan beberapa sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan, menunjukkan bahwa Aisyah dan para pengikutnya menganut paham bahwa wanita boleh terlibat dalam politik praktis.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.